Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS

WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS

[Artikel - Th. II - No. 5 - Agustus 2003]
Noer Soetrisno
WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS

Latar Belakang
1. Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Sehingga terlahir koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota.
2. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis menjadi instrumen untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada beras. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru dengan mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat ketat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan “pengerakannya” kepada koperasi selalu apabila gagal dilaksanakan sendiri atau langsung oleh pemerintah, contoh padi sentra, kredit BIMAS hingga distribusi pupuk.
3. KUD sebagai koperasi berbasis wilayah jumlahnya hanya 8620 unit dan pendiriannya memang tidak terlalu luas. Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 KUD hanya mewakili 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mereka mewakili sekitar 43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada saat ini lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi yaitu 92% atau sebanyak 7931 unit KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rata-rata anggota terbesar.
4. Koperasi pertanian yang digerakan melalui pengembangan kelompok tani setelah keluarnya Inpres 18/1998 mempunyai jumlah yang besar, namun praktis belum memiliki basis bisnis yang kuat dan mungkin sebagian sudah mulai tidak aktif lagi. Usaha mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil jumlah terbatas dan belum
dapat dikategorikan sebagai koperasi pertanian sebagai mana lazimnya koperasi pertanian di dunia atau bahkan oleh KUD-khusus pertanian yang ada.
Posisi Pertanian : Kini dan Ke Depan
5. Posisi sektor pertanian sampai saat ini tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional yang kurang dari 19%. Jika dimasukkan keseluruhan kegiatan off form yang terkait dan sering dinyatakan sebagai sektor agribisnis juga hanya mencakup 47%, sehingga dominasi pembentukan nilai tambah juga sudah berkurang dibandingkan dengan sektor-sektor di luar pertanian. Isue peran pertanian sebagai penyedia pangan, bentuk ketahanan pangan juga menurun derajat kepentingan nya.
6. Ditinjau dari unit usaha pertanian terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. Disektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn. Secara kasar dapat diperhitungkan bahwa hanya sekitar 670 ribu unit usaha kecil di sektor pertanian yang bukan usaha mikro, oleh karena itu daya dukungnya sangat lemah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pekerja. Sementara itu penguasaan tanah berdasarkan sensus pertanian 1993 sekitar 43% tanah pertanian berada di tangan 13% rumah tangga dengan pemilikan diatas 1 hektar saja. Sehingga petani besar sebenarnya potensial dilihat sebagai modal untuk menjadi lokomotif pembangunan pertanian.
7. Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas. Thema ini menjadi penting untuk melihat arah kebijakan pertanian dalam jangka menengah dan panjang, terutama penetapan pilihan sulit yang melilit sektor pertanian akibat berbagai Rasionalisasi. Kelangsungan hidup koperasi pertanian dimasa lalu sangat terkait politik reservasi tersebut, dan ke depan hal ini juga akan sangat menentukan.
8. Untuk melihat posisi koperasi secara kritis perlu didasarkan pada posisi sektor pertanian yang semakin terbuka dan bebas. Dengan dasar bahwa proses liberalisasi perdagangan yang berdampak pada sektor pertanian dalam bentuk dihapuskan kebijakan perencanaan pertanian yang kaku dan terpokus. Sehingga pengekangan program pembangunan pertanian tidak mungkin lagi dijalankan secara bebas, tetapi hanya dapat dilakukan secara lokal dan harus sesuai dengan potensi lokal. Olah karena itu prinsip pengembangan pertanian akan lebih bersifat insentif driven ketimbang program driven seperti dimasa lalu. Dengan demikian corak koperasi pertanian akan terbuka tetapi untuk menjamin kelangsungan hidupnya akan terbatas pada sektor selektif yang memenuhi persyaratan tumbuhnya koperasi.



Sketsa Koperasi Pertanian di Masa Depan
9. Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai “restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini saja hampir di semua KUD, unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi.
10. Koperasi Nelayan karena kekuatan utamanya terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah, akan sangat di tentukan oleh policy daerah hak itu akan diberikan kepada siapa ? Pemerintah daerah juga potensial untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun pendaratan baru. Dengan pengorganisasian atas dasar kesamaan tempat pendaratan pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari "nelayan tangkap" menjadi “nelayan budidaya”, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Canada, Korea Selatan dan Eropa dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut.
11. Koperasi perkebunan tetap mempunyai prospek yang bagus terutama yang terkait dengan industri pengolahan. Namun dalam situasi kesulitan menarik investasi karena kurangnya insentif, kebangkitan ini akan tertunda. Potensi besar sektor perkebunan untuk memanfaatkan kelembagaan koperasi dapat direalisasi dengan dukungan restrukturisasi status aset anggota dalam koperasi atau pengenalan konsep "saham" sebagai equity dibanding "simpanan" yang tidak transferable.
12. Koperasi di sub sektor peternakan terutama peternakan sapi perah apapun kebijakan yang ditempuh akan mampu berkembang dengan karakter koperasi yang kental. Prasyarat untuk memajukan koperasi di bidang persusuan ini dalam menghadapi persaingan global antara lain:
a. Bebaskan anggota yang ada hingga usahanya minimal skala mikro atau minimal 10 ekor/anggota.
b. Bebaskan setiap koperasi hingga mencapai satuan yang layak sebagai kluster peternakan minimal 15.000liter/hari dan idealnya menuju pada 100.000 liter/hari.
c. Integrasi untuk konsep pertanian dan peternakan agar menjamin kesatuan unit untuk meningkatkan kepadatan investasi pertanian.
13. Untuk kegiatan pertanian lainnya agar lebih berhati-hati untuk mengenalkan konsep koperasi ke dalam kegiatan pertanian. Persyaratan usaha masing-masing anggota, kesesuaian struktur pasar dan keterkaitan jangka panjang antara bisnis anggota dan kegiatan koperasi akan tetap menjadi pertimbangan kepentingan untuk menumbuhkan koperasi pertanian. Pada akhirnya daerah otonom sebagai suatu kesatuan administrasi harus dilihat sebagai basis pemusatan koperasi.


________________________________________
Oleh: Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_4.htm

REVIEW JURNAL :
WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS
Noer Soetrisno
1. Pendahuluan
Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Sehingga terlahir koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain.

2. Point-point yang kami ringkas
• sektor pertanian sampai saat ini tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar.
• Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas.
• Prasyarat untuk memajukan koperasi di bidang persusuan ini dalam menghadapi persaingan global antara lain:
a.Bebaskan anggota yang ada hingga usahanya minimal skala mikro atau minimal 10 ekor/anggota.
b.Bebaskan setiap koperasi hingga mencapai satuan yang layak sebagai kluster peternakan minimal 15.000liter/hari dan idealnya menuju pada 100.000 liter/hari.
c.Integrasi untuk konsep pertanian dan peternakan agar menjamin kesatuan unit untuk meningkatkan kepadatan investasi pertanian.

3. Kesimpulan
Jadi untuk kegiatan pertanian lainnya agar lebih berhati-hati untuk mengenalkan konsep koperasi ke dalam kegiatan pertanian. Persyaratan usaha masing-masing anggota, kesesuaian struktur pasar dan keterkaitan jangka panjang antara bisnis anggota dan kegiatan koperasi akan tetap menjadi pertimbangan kepentingan untuk menumbuhkan koperasi pertanian. Pada akhirnya daerah otonom sebagai suatu kesatuan administrasi harus dilihat sebagai basis pemusatan koperasi.

4. Referensi :
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_4.htm


Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pengertian SHU (Sisa Hasil Usaha) Koperasi dan Perumusannya

Pengertian SHU (Sisa Hasil Usaha) Koperasi dan Perumusannya


Berikut ini diuraikan secara kompleks arti dari sisa hasil usaha dalam koperasi atau yang lebih dikenal dengan (SHU) koperasi. SHU Koperasi adalah sebagai selisih dari seluruh pemasukan atau penerimaan total (total revenue ) atau biasa dilambangkan (TR) dengan biaya-biaya atau biaya total (total cost) dengan lambang (TC) dalam satu tahun waktu. Lebih lanjut pembahasan mengenai pengertian koperasi bila ditinjau menurut UU No.25/1992, tentang perkoperasian, Bab IX, pasal 45 adalah sebagai berikut:

• SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.

• SHU setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.

• Besarnya pemupukan modal dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.

• Penetapan besarnya pembagian kepada para anggota dan jenis serta jumlahnya ditetapkan oleh Rapat Anggota sesuai dengan AD/ART Koperasi.

• Besarnya SHU yang diterima oleh setiap anggota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi.

• Semakin besar transaksi(usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima.

Dalam proses penghitungannya, nilai SHU anggota dapat dilakukan apabila beberapa informasi dasar diketahui sebagai berikut:

1. SHU total kopersi pada satu tahun buku

2. bagian (persentase) SHU anggota

3. total simpanan seluruh anggota

4. total seluruh transaksi usaha ( volume usaha atau omzet) yang bersumber dari anggota

5. jumlah simpanan per anggota

6. omzet atau volume usaha per anggota

7. bagian (persentase) SHU untuk simpanan anggota

8. bagian (persentase) SHU untuk transaksi usaha anggota.

Rumus Pembagian SHU

MenurutUU No. 25/1992 pasal5 ayat1

• Mengatakan bahwa“pembagian SHU kepada anggota dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam koperasi, tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota terhadap koperasi. Ketentuan ini merupakan perwujudan kekeluargaan dan keadilan”.

• Didalam AD/ART koperasi telah ditentukan pembagian SHU sebagai berikut: Cadangan koperasi 40%, jasa anggota 40%, dana pengurus 5%, dana karyawan 5%, dana pendidikan 5%, danasosial 5%, danapembangunanlingkungan 5%.

• Tidak semua komponen diatas harus diadopsi dalam membagi SHU-nya. Hal ini tergantung dari keputusan anggota yang ditetapkan dalam rapat anggota.

Perumusan :

SHU = JUA + JMA, dimana

SHU = Va/Vuk . JUA + Sa/Tms . JMA

Dengan keterangan sebagai berikut :

SHU : sisa hasil usaha

JUA : jasa usaha anggota

JMA : jasa modal sendiri

Tms : total modal sendiri

Va : volume anggota

Vak : volume usaha total kepuasan

Sa : jumlah simpanan anggota















Review Jurnal :



Saya dapat menyimpulkan bahwa sisa hasil usaha adalah selisih antara penerimaan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam satuan waktu.

SHU setelah dikurangi dana cadangan, lalu SHU dibagikan kepada anggota sebanding jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Intinya SHU tersebut digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat koperasi .

Semakin besar transaksi(usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima. Karena semakin banyak juga perhitungan yg akan dikurangkan dengan beban yg minimal maka SHU pun akan semakin besar.

Berikut informasi dasar perhitungan SHU :

SHU total kopersi pada satu tahun buku

Yaitu total keselurahan penerimaan total dalam satu tahun buku

bagian (persentase) SHU anggota

Seberapa besar anggota akan menerima persenan dari SHU



total simpanan seluruh anggota



4. total seluruh transaksi usaha ( volume usaha atau omzet) yang bersumber dari anggota

5. jumlah simpanan per anggota

6. omzet atau volume usaha per anggota



7. bagian (persentase) SHU untuk simpanan anggota

Sebagian persenan dari SHU yangg akan disimpan untuk anggota

8. bagian (persentase) SHU untuk transaksi usaha anggota.

Sebagian persenan dari SHU yang bisa langsung di gunakan oleh anggota

Perumusan :

SHU = JUA + JMA, dimana

SHU = Va/Vuk . JUA + Sa/Tms . JMA

Dengan keterangan sebagai berikut :

SHU : sisa hasil usaha

JUA : jasa usaha anggota

JMA : jasa modal sendiri

Tms : total modal sendiri

Va : volume anggota

Vak : volume usaha total kepuasan

Sa : jumlah simpanan anggota



Daftar referensi :

http://ahim.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/9895/BAB+5.+SHU.ppt



Nama kelompok 2EB10 :
DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
FACHRURROZY 22210469
FERIZAH ARINA M 22210742
NIKE APRIANTI 24210978
YULIANA EKA PUTRI 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

x[Artikel - Th. I - No. 10 - Desember 2002]
Fredrik Benu
EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT:
SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT
Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural (structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).

________________________________________

Fredrik Benu – Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang
Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 2000, Ekonomi Indonesia Baru, kajian dan alternatif solusi menuju pemulihan, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Asy’arie, Musa. 2001, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta.
Gillis, Malcolm; Perkins, Dwight, H., Roemer Donald R. 1987, Economics of Development, 2nd Ed. W.W.Norton & Companny, New York.
Kleden, Ignas. 2000, Persepsi dan Mispersepsi tentang Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pokok-Pokok pikiran dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, 2002, Laporan disampaikan pada kunjungan Menteri Pertanian Republik Indonesia di Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak dipublikasikan.
Prawirokusumo, Soeharto. 2001, Ekonomi Rakyat, Kosep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, Yogyakarta.
Simanjuntak, Djisman, S. 2000, Ekonomi Pasar Sosial Indonesia, dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta.

REVIEW JURNAL :
EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT:
SUATU KAJIAN KONSEPTUAL
Fredrik Benu
1. Pendahuluan
Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.


2. Point-point yang kami ringkas sebagai berikut :
• Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Ilustrasi yang disampaikan untuk membuka ruang diskusi tentang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha.



• Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.

• Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will. Diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider.

• Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku.

3. Kesimpulan
Dari banyak pendapat mengenai ekonomi rakyat diatas da secara konseptual saya beranggapan bahwa ekonomi rakyat satuan dari sebuh rakyat kecil yang melakukan suatu usaha sedangkan ekonomi kerakyatan lebih mengarah pada suatu kelompok dimasyarakat iru sendiri yang melakukan usaha atau yang lainnya.Semua kegiatan yang menyangkut ekonomi pasti ada hubugannya dengan bagaimana kita mendapatkan pendapatan yang maksimal untuk berlasung di kehidupan,ekonomi pasar contohnya pemerintah mengaitkan ekonomi pasar dengan adanya politik dan lainnya demi berjalannya suatu unit usaha ataupun organisasi.


4. Daftar Pustaka :
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm

Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
 WIBISONO SUPRAPTO 28210481

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PERMODALAN KOPERASI

PERMODALAN KOPERASI

Bab VIII

Permodalan Koperasi


Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
 WIBISONO SUPRAPTO 28210481




















Universitas Gunadarma
Ekonomi Akuntansi



Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, kami dapat mempersembahkan makalah ini yg berjudul ‘’Pengertian dan prinsip-prinsip koperasi’’ sebagai sumber pembelajaran bagi kami semua.
Sebagai penyusun kami sadar bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena kita semua masih dalam tahap pembelajaran mohon harap dimaklumkan.
Kami berharap semoga makalah ini memberi manfaat untuk peningkatan pembelajarann km alam kegiatan perkkuliahan ini. Saran, kritik, dan koreksi yang bersifat positif senantiasa kami nantikan demi penyusunan makalah ini di edisi yang akan datang

Penyusun















1. Arti Modal Koperasi
• Modal merupakan sejumlah dana yang akan digunakan untuk melaksanakan usaha – usaha Koperasi.

– Modal jangka panjang
– Modal jangka pendek

• Koperasi harus mempunyai rencana pembelanjaan yang konsisten

Arti Modal Koperasi
Modal merupakan sejumlah dana yang akan digunakan untuk melaksanakan usaha
– usaha Koperasi.
• Modal jangka panjang
• Modal jangka pendek
• Koperasi harus mempunyai rencana pembelanjaan yang konsisten dengan azas-azas
• Koperasi dengan memperhatikan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan administrasi.

2. Sumber Modal
A. SUMBER-SUMBER MODAL KOPERASI (UU NO. 12/1967)

• Simpanan Pokok

sejumlah uang yang diwajibkan kepada anggota untuk
diserahkan kepada Koperasi pada waktu seseorang masuk menjadi anggota Koperasi
tersebut dan jumlahnya sama untuk semua anggota

• Simpanan Wajib

adalah simpanan tertentu yang diwajibkan kepada anggota yang
membayarnya kepada Koperasi pada waktu-waktu tertentu.

• Simpanan Sukarela

adalah simpanan anggota atas dasar sukarela atau berdasarkan
perjanjian-perjanjian atau peraturan –peraturan khusus.

• Modal Sendiri

B. SUMBER-SUMBER MODAL KOPERASI (UU No. 25/1992)

• Modal sendiri (equity capital)
Bersumber dari simpanan pokok anggota, simpanan wajib, dana cadangan, dan donasi/hibah.

• Modal pinjaman ( debt capital)
bersumber dari anggota, koperasi lainnya, bank atau lembaga keuangan lainnya, penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya, serta sumber lain yang sah.




3. Distribusi cadangan koperasi

• Cadangan menurut UU No. 25/1992, adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha yang dimasukkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan.



• Sesuai Anggaran Dasar yang menunjuk pada UU No. 12/1967 menentukan bahwa 25 % dari SHU yang diperoleh dari usaha anggota disisihkan untuk Cadangan , sedangkan SHU yang berasal bukan dari usaha anggota sebesar 60 % disisihkan untuk Cadangan.



Manfaat Distribusi Cadangan

• Memenuhi kewajiban tertentu
• Meningkatkan jumlah operating capital koperasi
• Sebagai jaminan untuk kemungkinan – kemungkinan rugi di kemudian hari
• Perluasan usaha













Kesimpulan
 Modal merupakan sejumlah dana yang akan digunakan untuk melaksanakan usaha – usaha Koperasi.

 SUMBER-SUMBER MODAL KOPERASI (UU NO. 12/1967) :

- Simpanan Pokok
- Simpanan Wajib





Saran

 Koperasi harus mempunyai rencana pembelanjaan yang konsisten
 Koperasi harus memperhatikan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan administrasi.








Sumber Referensi :

http://ocw.gunadarma.ac.id/course/economics/management-s1/ekonomi-koperasi/permodalan-koperasi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MANAJEMEN KOPERASI MENUJU KEWIRAUSAHAAN KOPERASI

MANAJEMEN KOPERASI MENUJU KEWIRAUSAHAAN KOPERASI

Arman D. Hutasuhut
Abstrak. Koperasi merupakan salah satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang pantas untuk ditumbuhkembangkan sebagai
badan usaha penting dan bukan sebagai alternatif terakhir. Membentuk jiwa
kewirausahaan koperasi di dalam diri para pengurus dan anggotanya adalah upaya
awal untuk menuju keberhasilan gerakan koperasi di tanah air.
Kata Kunci: Koperasi, Manajemen Koperasi, Kewirausahaan Koperasi.Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Pendahuluan
Dalam usaha pemulihan krisis ekonomi Indonesia dewasa ini, sesungguhnya
koperasi mendapatkan peluang (opportunity) untuk tampil lebih eksis. Krisis ekonomi
yang diawali dengan krisis nilai tukar dan kemudian membawa krisis hutang luar
negeri, telah membuka mata semua pemerhati ekonomi bahwa "fundamental
ekonomi" yang semula diyakini kesahihannya, ternyata hancur lebur. Para pengusaha
besar konglomerat dan industri manufaktur yang selama ini diagung-agungkan
membawa pertumbuhan ekonomi yang pesat pada rata-rata 7% pertahun, ternyata
hanya merupakan wacana. Sebab, ternyata kebesaran mereka hanya ditopang oleh
hutang luar negeri sebagai hasil perkoncoan dan praktik mark-up ekuitas, dan tidak
karena variabel endogenous (yang tumbuh dari dalam) (Manurung, 2000).
Setelah dicanangkan oleh pendiri negara kita, bahwa koperasi merupakan
lembaga ekonomi yang cocok dengan spirit masyarakatnya, yaitu azas kekeluargaan.
Bahkan disebutkan oleh Hadhikusuma (2000). Kekeluargaan adalah azas yang
memang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia dan telah berurat akar
dalam jiwa bangsa Indonesia. Namun sampai saat ini dalam kenyataannya peran
koperasi untuk berkontribusi dalam perekonomian Indonesia belum mencapai taraf
signifikan. Banyaknya masalah yang menghambat perkembangan koperasi di
Indonesia menjadi problematik yang secara umum masih dihadapi.
Pencapaian misi mulia koperasi pada umumnya masih jauh dan idealisme
semula. Koperasi yang seharusnya mempunyai amanah luhur, yaitu membantu
pemerintah untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial, belum dapat menjalani
peranannya secara maksimal. Membangun koperasi menuju kepada peranan dan
kedudukannya yang diharapkan merupakan hai yang sangat sulit, walau bukan
merupakan hal yang tidak mungkin.
OIeh karena itu, tulisan ini tetap pada satu titik keyakinan, bahwa seburuk
apapun keadaan koperasi saat mi, kalau semua komponen bergerak bersama, tentunya
ada titik terang yang diharapkan muncul. Juga diharapkan mampu menjadi pencerahan
bagi kita semua, tentang bagaimana koperasi dikembalikan kepada cita-cita para
pendiri bangsa mi, menjadikan kegiatan ekonomi menjadi milik semua rakyat. Dengan
demikian, kesenjangan ekonomi yang merembet pada kesenjangan sosial dan
penyakitpenyakit masyarakat Iainnya dapat dikurangi (Nuhung, 2002).
Citra koperasi di masyarakat saat ini identik dengan badan usaha marginal,
yang hanya bisa hidup bila mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini sebenarnya
tidak sepenuhnya benar, karena banyak koperasi yang bisa menjalankan usahanya
tanpa bantuan pemerintah. Tantangan koperasi ke depan sebagai badan usaha adalah
harus mampu bersaing secara sehat sesuai etika dan norma bisnis yang berlaku .
Pendapat mengenai keberadaan unit usaha koperasi dalam sistem ekonomi
Indonesia, adalah: Pertama adalah yang mengutarakan perlunya mengkaji ulang
apakah koperasi masih perlu dipertahankan keberadaannya dalam kegiatan ekonomi.Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Secara implisit pendapat ini menghendaki agar kita tidak perlu mempertahankan
koperasi sebagai unit usaha ekonomi. Pendapat ini mewakili pemikiran kanan baru
(new-right) yang tidak begitu mempermasalahkan konsentrasi ekonomi di kalangan
segelintir orang dalam masyarakat dan tidak menghendaki adanya pertanda pandangan
populis di dalam masyarakat. Kedua, adalah pendapat yang memandang bahwa unit
usaha koperasi dipandang perlu untuk dipertahankan sekadar untuk tidak dianggap
menyeleweng dari UUD 1945.
Pendapat inilah yang selama ini hidup dalam pemikiran bara birokrat
pemerintahan. Ketiga, adalah pendapat yang menganggap bahwa koperasi sebagai
organisasi ekonomi rakyat yang harus dikembangkan menjadi unit usaha yang kukuh
dalam rangka proses demokratisasi ekonomi.
Pendapat ini mendasarkan pada semangat dan cita-cita kemerdekaan Indonesia
yang ingin mengubah hubungan dialektik ekonomi, dari dialektik kolonial pada jaman
penjajahan kepada dialektik hubungan ekonomi yang menjadikan rakyat sebagai
kekuatan ekonomi (Sritua, 1997).
Tantangan bagi dunia usaha, terutama pengembangan Usaha Kecil
Menengah , mencakup aspek yang luas, antara lain : peningkatan kualitas SDM
dalam hal kemampuan manajemen, organisasi dan teknologi, kompetensi
kewirausahaan, akses yang lebih luas terhadap permodalan, informasi pasar yang
transparan, faktor input produksi lainnya, dan iklim usaha yang sehat yang
mendukung inovasi, kewirausahaan dan praktek bisnis serta persaingan yang sehat
(Haeruman, 2000).
Pengertian Koperasi
Menurut Undang-undang No. 25/1992, koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang-perorangan atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasarkan asas kekeluargaan (Sitio dan Tamba, 2001). Koperasi sebagai
organisasi ekonomi yang berwatak sosial sebagai usaha bersama berdasar asas-asas
kekeluargaan dan gotong royong (Widiyanti, 94). Ropke menyatakan makna koperasi
dipandang dari sudut organisasi ekonomi adalah suatu organisasi bisnis yang para
pemilik/anggotanya adalah juga pelanggan utama perusahaan tersebut. Kriteria
identitas koperasi akan merupakan dalil/prinsip identitas yang membedakan unit usaha
koperasi dari unit usaha lainnya (Hendar dan Kusnadi, 1999).
Elemen yang terkandung dalam koperasi menurut International Labour
Organization (Sitio dan Tamba, 2001) adalah:
a. perkumpulan orang-orang,
b. penggabungan orang-orang tersebut berdasarkan kesukarelaan,
c. terdapat tujuan ekonomi yang ingin dicapai,Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
d. koperasi yang dibentuk adalah suatu organisasi bisnis (badan usaha) yang
diawasi dan dikendalikan secara demokratis,
e. terdapat kontribusi yang adil terhadap modal yang dibutuhkan,
f. anggota koperasi menerima resiko dan manfaat secara seimbang.
Prinsip-Prinsip Koperasi
Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi.
Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan perkoperasian
yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama Koperasi. Perkoperasian di
Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945, dan bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan
makmur (Koperindo.com, 2001 )
Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar Koperasi menurut UU No. 12 tahun 1967,
adalah sebagai berikut.
a.Sifat keanggotaannya sukarela dan terbuka untuk setiap warg negara Indonesia
b.Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi sebagai pencerminan demokrasi
dalam koperasi
c.Pembagian SHU diatur menurut jasa masing-masing anggota
d.Adanya pembatasan bunga atas modal
e.Mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya dan masya rakat pada
umumnya
f.Usaha dan ketatalaksanaannya bersifat terbuka
g.Swadaya, swakarta, dan swasembada sebagai pencerminan prinsip dasar percaya
pada diri sendiri
Menurut UU No. 25 Tahun 1992, prinsip-prinsip koperasi adalah sebagai
berikut:
Prinsip-prinsip koperasi adalah:
a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya
jasa usaha masing-masing anggota.
d. Pemberian balas jasa tidak terkait dengan besarnya setoran modal.
e. Kemandirian
f. Pendidikan koperasi
g. Kerja sama antar koperasi
Permasalahan Koperasi
Untuk mampu bertahan di era globalisasi tentunya koperasi harus instropeksiJurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
atas kondisi yang ada pada dirinya.. Tidak dapat dipungkiri bahwa hanya dengan
mengenal jati diri koperasi secara benar maka kemungkinan bersaing dengan badan
usaha lain akan terbuka. Jelas bahwa ditinjau dari sudut bentuk organisasinya, maka
organisasi koperasi adalah SHO (self-help organisasi).
Intinya koperasi adalah badan usaha yang otonom. Problemnya adalah
otonomi koperasi sejauh ini menjadi tanda tanya besar. Karena bantuan pemerintah
yang begitu besar menjadikan otonomi koperasi sulit terwujud. Dalam dataran
konsepsional otonomi Koperasijuga mengandung implikasi bahwa badan usaha
koperasi seharusnya lepas dari lembaga pemerintah, artinya organisasi koperasi bukan
merupakan lembaga yang dilihat dari fungsinyaadalah alat administrasi langsung dari
pemerintah, yang mewujudkan tujuan-tujuan yang telah diputuskan dan ditetapkan
oleh pemerintah (Rozi dan Hendri, 1997).
Masalah mutu sumberdaya manusia pada berbagai perangkat organisiasi
koperasi menjadi masalah yang menonjol dan mendapat sorotan. Subyakto (1996)
mempunyai pandangan bahwa, kendala yang sangat mendasar dalam pemberdayaan
koperasi dan usaha kecil adalah masalah sumberdaya manusia. Pengurus dan
karyawan secara bersama-sama -ataupun saling menggantikan- menjadi pelaku
organisasi yang aktif, dan menjadi front line staff dalam melayani anggota koperasi.
Keadaan saling menggantikan seperti itu, banyak terjadi dalam praktik
manajemen koperasi di Indonesia. Kinerja front line staff memiliki dampak terhadap
kepuasan pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan pengembangan koperasi, antara
lain adalah anggota sebagai pemilik dan pemanfaat, pemerintah sebagai pembina
serta pihak mitra bisnis yang berperan sebagai pemasok, distributor, produsen,
penyandang dana dan lain sebagainya.
Manajemen Koperasi
Koperasi merupakan lembaga yang harus dikelola sebagaimana layaknya lembaga
bisnis. Di dalam sebuah lembaga bisnis diperlukan sebuah pengelolaan yang efektif
dan efisien yang dikenal dengan manajemen. Demikian juga dalam badan usaha
koperasi, manajemen merupakan satu hak yang harus ada demi terwujudnya tujuan
yang diharapkan.
Prof. Ewell Paul Roy mengatakan bahwa manajemen koperasi melibatkan 4
(empat) unsur yaitu: anggota, pengurus, manajer, dan karyawan. Seorang manajer
harus bisa menciptakan kondisi yang mendorong para karyawan agar
mempertahankan produktivitas yang tinggi. Karyawan merupakan penghubung antara
manajemen dan anggota pelanggan (Hendrojogi, 1997).
Menurut Suharsono Sagir, sistem manajemen di lembaga koperasi harus
mengarah kepada manajemen partisipatif yang di dalamnya terdapat kebersamaan,
keterbukaan, sehingga setiap anggota koperasi baik yang turut dalam pengelolaan
(kepengurusan usaha) ataupun yang di luar kepengurusan (angota biasa), memilikiJurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
rasa tanggung jawab bersama dalam organisasi koperasi (Anoraga dan Widiyanti,
1992).
A.H. Gophar mengatakan bahwa manajemen koperasi pada dasarnya dapat
ditelaah dan tiga sudut pandang, yaitu organisasi, proses, dan gaya (Hendar dan
Kusnadi, 1999).
Dari sudut pandang organisasi, manajemen koperasi pada prinsipnya terbentuk dan
tiga unsur: anggota, pengurus, dan karyawan. Dapat dibedakan struktur atau alat
perlengkapan onganisasi yang sepintas adalah sama yaitu: Rapat Anggota, Pengurus,
dan Pengawas. Untuk itu, hendaknya dibedakan antara fungsi organisasi dengan
fungsi manajemen. Unsur Pengawas seperti yang terdapat pada alat perlengkapan
organisasi koperasi, pada hakekatnya adalah merupakan perpanjangan tangan dan
anggota, untuk mendampingi Pengurus dalam melakukan fungsi kontrol sehari-hari
terhadap jalannya roda organisasi dan usaha koperasi. Keberhasilan koperasi
tergantung pada kerjasama ketiga unsur organisasi tersebut dalam mengembangkan
organisasi dan usaha koperasi, yang dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada anggota.
Dan sudut pandang proses, manajemen koperasi lebih mengutamakan demokrasi
dalam pengambilan keputusan. Istilah satu orang satu suara (one man one vote) sudah
mendarah daging dalam organisasi koperasi. Karena itu, manajemen koperasi ini
sering dipandang kurang efisien, kurang efektif, dan sangat mahal.
Terakhir, ditinjau dan sudut pandang gaya manajemen (management style),
manajemen koperasi menganut gaya partisipatif (participation management), di mana
posisi anggota ditempatkan sebagai subjek dan manajemen yang aktif dalam
mengendalikan manajemen perusahaannya.
Sitio dan Tamba (2001) menyatakan badan usaha koperasi di Indonesia memiliki
manajemen koperasi yang dirunut berdasarkan perangkat organisasi koperasi, yaitu:
Rapat anggota, pengurus, pengawas, dan pengelola.
Telah diuraikan sebelumnya bahwa, watak manajemen koperasi ialah gaya
manajemen partisipatif. Pola umum manalemen koperasi yang partisipatif tersebut
menggambarkan adanya interaksi antar unsur manajemen koperasi. Terdapat
pembagian tugas (job description) pada masing-masing unsur. Demikian pula setiap
unsur manajemen mempunyai lingkup keputusan (decision area) yang berbeda,
kendatipun masih ada lingkup keputusan yang dilakukan secara bersama (shared
decision areas)
Adapun lingkup keputusan masing-masing unsur manajemen koperasi adalah
sebagai berikut (Sitio dan Tamba, 2001):
a.Rapat Anggota merupakan pemegang kuasa tertinggi dalam menetapkanJurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
kebijakan umum di bidang organisasi, manajemen, dan usaha koperasi.
Kebijakan yang sifatnya sangat strategis dirumuskan dan ditetapkan pada
forum Rapat Anggota. Umumnya, Rapat Anggota diselenggarakan sekali
setahun.
b.Pengurus dipilih dan diberhentikan oleh rapat anggota. Dengan demikian,
Pengurus dapat dikatakart sebagai pemegang kuasa Rapat Anggota dalam
mengoperasionalkan kebijakan-kebijakan strategis yang ditetapkan Rapat
Anggota. Penguruslah yang mewujudkan arah kebijakan strategis yang
menyangkut organisasi maupun usaha.
c.Pengawas mewakili anggota untuk melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan yang dilaksanakan oleh Pengurus. Pengawas dipilth
dan diberhentikan oleh Rapat Anggota. OIeh sebab itu, dalam struktur
organisasi koperasi, posisi Pengawas dan Pengurus adalah sama.
d.Pengelola adalah tim manajemen yang diangkat dan diberhentikan oleh
Pengurus, untuk melaksanakan teknis operasional di bidang usaha. Hubungan
Pengelola usaha (managing director) dengan pengurus koperasi adalah
hubungan kerja atas dasar perikatan dalam bentuk perjanjian atau kontrak
kerja.
Kewirausahaan Koperasi
Secara definitif seorang wirausaha termasuk wirausaha koperasi adalah orang
yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis,
mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan
darinya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses (Meredith, et al,
1984).
Para wirausaha koperasi adalah orang yang mempunyai sikap mental positif
yang berorientasi pada tindakan dan mempunyai motivasi tinggi dalam mengambil
risiko pada saat mengejar tujuannya. Tetapi mereka juga orang-orang yang cermat dan
penuh perhitungan dalam mengambil keputusan tentang sesuatu yang hendak
dikerjakan, Setiap mengambil keputusan tidak didasarkan pada metode coba-coba,
melainkan dipelajari setiap peluang bisnis dengan mengumpulkan informasi-informasi
yang berharga bagi keputusan yang hendak dibuat.
Selanjutnya menurut Meredith (1984) para wirausaha (termasuk wirausaha
koperasi) mempunyai ciri dan watak yang berlainan dengan individu kebanyakan.
Ciri-ciri dan watak tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Mempunyai kepercayaan yang kuat pada diri sendiri.
b. Berorientasi pada tugas dan basil yang didorong oleh kehutuhan untuk
herprestasi, berorientasi pada keuntungan, mempunyai ketekunan dan
ketabahan, mempunyni tekad kerja keras, dan mempunyai energi inisiatif.
c. Mempunyai kemampuan dalam mengambil risiko dan mengambil keputusan-Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
keputusan secara cepat dan cermat.
d. Mempunyai jiwa kepemimpinan, suka bergaul dan suka menanggapi saransaran dan kritik.
e. Berjiwa inovatif, kreatif dan tekun.
f. Berorientasi ke masa depan.
Kewirausahaan koperasi adalah suatu sikap mental positif dalam berusaha secara
koperatif dengan mengambil prakarsa inovatif serta keberanian mengambil risiko dan
berpegang teguh pada prinsip identitas koperasi dalam mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan nyata serta peningkatan kesejahteraan bersama (Hendar dan Kusnadi,
1999). Dan definisi tersebut terkandung beberapa unsur yang patut diperhatikan
seperti penjelasan di bawah ini.
Kewirausahaan koperasi merupakan sikap mental positif dalam berusaha secara
koperatif. Ini berarti wirausaha koperasi (orang yang melaksanakan kewirausahaan
koperasi) harus mempunyai keinginan untuk memajukan organisasi koperasi, baik itu
usaha koperasi maupun usaha anggotanya. Usaha itu harus dilakukan secara koperatif
dalam arti setiap kegiatan usaha koperasi harus mementingkan kebutuhan anggotanya.
Tugas utama wirausaha koperasi adalah mengambil prakarsa inovatif, artinya
berusaha mencari, menemukan dan memanfaatkan peluang yang ada demi
kepentingan bersama (Drucker, 1988). Bertindak inovatif tidak hanya dilakukan pada
saat memulai usaha tetapi juga pada saat usaha itu berjalan, bahkan pada saat usaha
koperasi berada dalam kemunduran. Pada saat memulai usaha agar koperasi dapat
tumbuh dengan cepat dan menghasilkan. Kemudian pada saat usaha koperasi berjalan,
agar koperasi paling tidak dapat mempertahankan eksistensi usaha koperasi yang
sudah berjalan dengan lancar. Perihal yang lehih penting adalah tindakan inovatif pada
saat usaha koperasi berada dalam kemunduran (stagnasi). Pada saat itu wirausaha
koperasi diperlukan agar koperasi berada pada siklus hidup yang baru.
Wirausaha koperasi harus mempunyai keberanian mengambil risiko. Karena
dunia penuh dengan ketidakpastian, sehingga hal-hal yang diharapkan kadang-kadang
tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu dalam
menghadapi situasi semacam itu diperlukan seorang wirausaha yang mempunyai
kemampuan mengambil risiko. Tentu saja pengambilan risiko ini dilakukan dengan
perhitungan-perhitungan yang cermat.
Pada koperasi risiko-risiko yang ditimbulkan oleh ketidakpastian sedikit
terkurangi oleh orientasi usahanya yang lebih banyak di pasar internal. Pasar internal
memungkinkan setiap usaha menjadi beban koperasi dan anggotanya karena koperasi
adalah milik anggota. Oleh karena itu secara nalar tidak mungkin anggota merugikan
koperasinya. Kalaupun terjadi kerugian dalam kegiatan operasional, maka risiko
tersebut akan ditanggung bersama-sama, sehingga risiko per anggota menjadi relatif
kecil.
Tetapi bila orientasi usaha koperasi lebih banyak ke pasar eksternal seperti KUD,Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
maka risiko yang ditimbulkan oleh ketidakpastian akan mempunyai bobot yang sama
dengan risiko yang dihadapi oleh pesaingnya. Dalam kondisi ini tugas wirausaha
koperasi lebih berat dibanding dengan wirausaha koperasi yang lehih banyak
orilentasinya di pasar internal.
Kegiatan wirausaha koperasi harus berpegang teguh pada prinsip identitas
koperasi, yaitu anggota sebagai pemilik dan, sekaligus sebagai pelanggan.
Kepentingan anggota harus diutamakan agar anggota mau berpartisipasi aktif terhadap
koperasi. Karena itu wirausaha koperasi bertugas meningkatkan pelayanan dengan
jalan menyediakan berbagai kebutuhan anggotanya.
Tujuan utama setiap wirausaha koperasi adalah memenuhi kebutuhan nyata
anggota koperasi dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Tugas seorang wirausaha
koperasi sebenamya cukup berat karena banyak pihak yang berkepentingan di
lingkungan koperasi, seperti anggota, perusahaan koperasi, karyawan, masyarakat di
sekitarnya, dan lain-lain. Seorang wirausaha koperasi terkadang dihadapkan pada
masalah konflik kepentingan di antara masing-masing pihak. Bila ia lebih
mementingkan usaha koperasi, otomatis ia harus berorientasi di pasar eksternal dan
hal ini berarti mengurangi nilai pelayanan terhadap anggota. Sebaliknya bila
orientasinya di pasar internal dengan mengutamakan kepentingan anggota, maka yang
menjadi korban adalah pertumbuhan koperasi.
Kewirausahaan dalam koperasi dapat dilakukan oleh anggota, manajer, birokrat
yang berperan dalam pembangunan koperasi dan katalis, yaitu orang yang peduli
terhadap pengembangan koperasi. Keempat jenis wirausaha koperasi ini tentunya
mempunyai kebebasan bertindak dan insentif yang berbeda-beda yang selanjutnya
menentukan tingkat efektivitas yang berbeda-beda pula.
Daftar Pustaka
Anoraga, Panji dan Widiyanti, Ninik. 1992. Dinamika Koperasi. Rineka Cipta,
Jakarta.
Arief, Sritua. 1997. Koperasi Sebagai Organisasi Ekonomi Rakyat, dalam
Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam
Arus Globalisasi. CSPM dan Zaman. Jakarta.
Drucker, Peter F. 1988. Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktek dan Dasar-Dasar.
Erlangga. Jakarta, dalam Hendar dan Kusnadi. 1999. Ekonomi Koperasi untuk
Perguruan Tinggi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Jakarta.
Haeruman, H. 2000. ”Peningkatan Daya Saing Industri Kecil untuk Mendukung
Program PEL”. Makalah Seminar Peningkatan Daya Saing. Graha Sucofindo.
JakartaJurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Hendar dan Kusnadi, 1999. Ekonomi Koperasi untuk Perguruan Tinggi, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Hendrojogi. 1997. Koperasi: Azas-azas, Teori dan Praktek.. RajaGrafindo. Jakarta.
Koperindo.com. http/www.Koperindo.com.
Manurung, 2000. “Perkoperasian Di Indonesia: Masalah, Peluang dan Tantangannya
di Masa Depan”. Economics e-Journal, 28 Januari 2000,
Meredith, 1984. Kewirausahaan, Teori dan Praktek, Pustaka Binaman Pressindo,
Jakarta, dalam Hendar dan Kusnadi, 1999. Ekonomi Koperasi untuk
Perguruan Tinggi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Rozi dan Hendri. 1997. Kapan dan Bilamana Berkoperasi. Unri Press. Riau.
Sitio, Arifin dan Tamba, Halomoan. 2001. Koperasi: Teori dan Praktek. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Subyakto, 1996. “Mutu Layanan dalam Perilaku Organisasi Koperasi”. http://
ln.doubleclick.net.
Widiyanti, Ninik, 1994. Manajemen Koperasi. Rineka Cipta. Jakarta.
Jakarta, 01 Oktober 2001
Oleh: Arman D. Hutasuhut -- men ManajeKoperasi Menuju Kewirausahaan Koperasi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.







MANAJEMEN KOPERASI MENUJU KEWIRAUSAHAAN KOPERASI

Arman D. Hutasuhut

Review Jurnal:
Pendahuluan
Dalam usaha pemulihan krisis ekonomi Indonesia dewasa ini, sesungguhnya
koperasi mendapatkan peluang (opportunity) untuk tampil lebih eksis. Krisis ekonomi
yang diawali dengan krisis nilai tukar dan kemudian membawa krisis hutang luar
negeri, telah membuka mata semua pemerhati ekonomi bahwa "fundamental
ekonomi" yang semula diyakini kesahihannya, ternyata hancur lebur. Para pengusaha
besar konglomerat dan industri manufaktur yang selama ini diagung-agungkan
membawa pertumbuhan ekonomi yang pesat pada rata-rata 7% pertahun, ternyata
hanya merupakan wacana. Sebab, ternyata kebesaran mereka hanya ditopang oleh
hutang luar negeri sebagai hasil perkoncoan dan praktik mark-up ekuitas, dan tidak
karena variabel endogenous (yang tumbuh dari dalam) (Manurung, 2000).
Setelah dicanangkan oleh pendiri negara kita, bahwa koperasi merupakan
lembaga ekonomi yang cocok dengan spirit masyarakatnya, yaitu azas kekeluargaan.
Bahkan disebutkan oleh Hadhikusuma (2000). Kekeluargaan adalah azas yang
memang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia dan telah berurat akar
dalam jiwa bangsa Indonesia. Namun sampai saat ini dalam kenyataannya peran
koperasi untuk berkontribusi dalam perekonomian Indonesia belum mencapai taraf
signifikan. Banyaknya masalah yang menghambat perkembangan koperasi di
Indonesia menjadi problematik yang secara umum masih dihadapi.
Pencapaian misi mulia koperasi pada umumnya masih jauh dan idealisme
semula. Koperasi yang seharusnya mempunyai amanah luhur, yaitu membantu
pemerintah untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial, belum dapat menjalani
peranannya secara maksimal. Membangun koperasi menuju kepada peranan dan
kedudukannya yang diharapkan merupakan hai yang sangat sulit, walau bukan
merupakan hal yang tidak mungkin.
OIeh karena itu, tulisan ini tetap pada satu titik keyakinan, bahwa seburuk
apapun keadaan koperasi saat mi, kalau semua komponen bergerak bersama, tentunya
ada titik terang yang diharapkan muncul. Juga diharapkan mampu menjadi pencerahan
bagi kita semua, tentang bagaimana koperasi dikembalikan kepada cita-cita para
pendiri bangsa mi, menjadikan kegiatan ekonomi menjadi milik semua rakyat. Dengan
demikian, kesenjangan ekonomi yang merembet pada kesenjangan sosial dan
penyakitpenyakit masyarakat Iainnya dapat dikurangi (Nuhung, 2002).
Citra koperasi di masyarakat saat ini identik dengan badan usaha marginal,
yang hanya bisa hidup bila mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini sebenarnya
tidak sepenuhnya benar, karena banyak.
3. Referensi jurnal :
http://www.manbisnis2.tripod.com/1_1_1.pdf

Nama Kelompok :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 2210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
 WIBISONO SUPRAPTO 28210481

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KOPERASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI PANCASILA

KOPERASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI PANCASILA

KOPERASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI PANCASILA
Oleh: Ir. Hariyono
1. Wacana perjuangan
Perjuangan bangsa Indonesia bersama segenap komponen dan eksponen kekuatan nasional seluruh negeri tahap pertama melawan penjajah, yaitu “Mencapai Indonesia Merdeka” telah berhasil dengan gemilang yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan telah dilengkapi pula dengan dasar negara ideologi luhur Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945 sebagai platform pijakan perjuangan tahap kedua menuju cita-cita bangsa.
Bagi bangsa Indonesia proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “berkat rakhmat Allah” (Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga) yang melekat menyertai perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia (Pembukaan UUD 1945 alinea kedua), sedang dalam batang tubuhnya ditegaskan “Negara berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 UUD 1945), yang artinya tatanan dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum dan nilai-nilai Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian maka Proklamasi juga merupakan tekad dan janji bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan janjinya itu secara konsisten, murni dan konsekwen bersama segenap rakyat Indonesia di lingkungan dunia internasional dalam tingkat, harkat, martabat dan derajat yang sama dengan bangsa-bangsa lain.
Perjuangan bangsa tahap kedua telah berjalan selama hampir 58 tahun, namun hasilnya masih sangat mengecewakan bahkan terlihat semakin jauh dari gambaran cita-cita bangsa Indonesia (alinea 4 Pembukaan UUD 1945), yang terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu :
a. Mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pemerintahan yang bersih, berwibawa, stabil dan kuat agar mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
b. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,
c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Oleh karenanya diperlukan langkah pencermatan terhadap pengalaman masa lalu untuk introspeksi dan evaluasi berdasarkan platform tersebut diatas guna menemukan penyebab yang dianggap paling mendasar dari kegagalan perjuangan tahap kedua, kemudian secara induktif dan deduktif dicari berbagai alternatif pemecahannya sebagai upaya antisipatif dari segala penyebab kegagalan tersebut.
Selanjutnya berpijak pada platform tersebut disusunlah rencana baru perjuangan yang lebih realistis dan lebih terukur dalam ruang dan waktu yang tersedia secara kontekstual sesuai dengan hasil analisa situasi dan kondisi obyektif yang nyata serta menyusun strategi dan taktik perjuangan yang lebih relevan untuk tidak mengulangi kegagalan lagi.

2. Pengalaman Sejarah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 :
Mempelajari perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 hingga sekarang (1945 – 2003) tersimpul bahwa sebenarnya Pancasila dan UUD 1945 belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen sesuai maksud dan tujuan semula.
Tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar NKRI disahkan dan berlaku bagi seluruh tanah air Indonesia, kemudian disusul pembentukan suatu Kabinet Presidensiil sesuai ketentuan UUD 1945 yang sudah disahkan itu. Tetapi pada tanggal 14 Nopember 1945 BP-KNIP (yang melakukan fungsi MPR sebelum MPR terbentuk) mengusulkan kepada Presiden agar Kabinet Presidensiil diganti dengan Kabinet Parlementer yang dipimpin seorang Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada DPR. Maka Kabinet Presidensiil tadi dibubarkan dan diganti Kabinet Parlementer (dengan Perdana Menteri Syahrir I), yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Jadi UUD 1945 hanya berlaku selama 3 (tiga) bulan kurang 3 hari.
Bentuk Kabinet Parlementer ini berlangsung terus hingga tanggal 5 Juli 1959 saat Presiden mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 serta membubarkan Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 setelah gagal menyusun Undang-Undang Dasar yang baru. Maka Presiden membentuk Kabinet Presidensiil yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Kemudian Presiden memerintahkan Badan Perancang Pembangunan Nasional untuk menyusun suatu rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) dengan periode pembangunan berjangka waktu 8 tahunan (1961–1969) berdasarkan pidato kenegaraan Presiden tanggal 17 Agustus 1959.
Namun karena keterbatasan dana dan negara memprioritaskan perjuangan Tri Kora (1962) untuk merebut kembali Irian Barat dan mengembalikan kepangkuan wilayah Republik Indonesia dari kekuasaan Belanda, maka terpaksa PNSB belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September 1965) yang dipimpin oleh PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia. Dalam waktu singkat ABRI dapat mengatasi pemberontakan tersebut.
Tanggal 11 Maret 1966 Presiden menerbitkan Surat Perintah (terkenal dengan istilah Super Semar) kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Pangkostrad untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan negara. Tetapi ternyata Super Semar tersebut dimanfaatkan untuk mengambil alih kekuasaan Presiden dengan dukungan MPRS.
Kemudian disusul dengan dibentuknya Pemerintahan Orde Baru dibawah pimipinan Jenderal Suharto yang menjanjikan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ternyata secara operasional sejak awal sudah menyimpang dari jiwa Pancasila dan UUD 1945, terbukti dengan terbitnya UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang jelas-jelas bertujuan menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya sistem ekonomiliberal kapitalistik serta diterapkannya sistem ekonomi trickle down effect yang menguntungkan fihak konglomerat dan tidak berpihak kepada kepentingan dan partisipasi rakyat yang nota bene adalah pemegang kedaulatan negara.
Dari pengalaman selama 58 tahun kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945, lebih dari 50 tahun telah diterapkan sistem demokrasi liberal yang menyimpang dari platform Amanat Proklamasi (Pancasila dan UUD 1945), yang membuktikan tidak cocok bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia dan telah mengakibatkan terjadinya degradasi hampir di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Oleh karenanya secara arif dan bijaksana para pemimpin dituntut untuk segera sadar kembali pada platform perjuangan dan pembangunan negara Indonesia tersebut diatas, yaitu Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945.
3. Pemahaman Amanat Proklamasi 1945
Dari pengalaman sejarah tersebut diatas terlihat bahwa Pancasila dan UUD 1945 dapat ditafsirkan sesuai dengan kepentingan dan keinginan rezim yang sedang berkuasa.
Oleh karenanya perlu diupayakan kesepakatan nasional untuk penafsiran secara obyektif dan baku dari platform Amanat Proklamasi 45 sedemikan sehingga dapat dihindari tafsiran yang menyimpang dan bahkan kontradiktif terhadap nilai-nilai dasar dari platform tersebut.
Bagi bangsa Indonesia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kenyataan sejarah adalah kehendak Tuhan. Begitu pula Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 adalah kenyataan sejarah yang merupakan pertanda zaman bagi bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa nasib bangsa Indonesia akan berubah dan berbalik dari sengsara akibat imperalisme dan feodalisme menjadi bahagia berdasar cita-cita luhurnya.
Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 adalah merupakan titik balik sejarah, dari status terjajah dan terhinakan berbalik menjadi status merdeka dan termuliakan. Hanya perlu diingat bahwa proses pembalikan status tersebut bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
Pernyataan “kemerdekaan” nya dalam kalimat alinea pertama Proklamasi mempunyai makna hakiki yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pandangan hidup, sebagai filsafat, sebagai dasar negara, sebagai ideologi maupun sebagai suatu sistem kehidupan umat manusia.
Pernyataan pemindahan “kekuasaan“ dalam kalimat alinea kedua Proklamasi mempunyai makna pengalihan, pemberian dan pembagian kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 antara negara dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan ( pasal 1 ayat (2) ). Pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat yang diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat dari UUD 1945 menunjukkan bahwa masing-masing memperoleh kekuasaan sebesar 70 %. Dalam gambar grafis superposisi dari kedua kekuasaan menghasilkan tiga bentuk pengelolaan kekuasaan, yaitu 30 % murni pengelolaan kekuasaan negara, 30 % murni pnegelolaan kekuasaan rakyat (atau hak hidup rakyat), dan 40 % pengelolaan bersama (sharing dari negara dan rakyat) dalam bentuk koperasi.
Dalam aspek ekonomi pengelolaan bersama merupakan pengelolaan koperasi berskala nasional yang modalnya dihimpun bersama antara rakyat dan negara.

4. Ekonomi Pancasila (Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila) :
Dalam hal Pancasila sebagai suatu pandangan hidup maka sila-silanya merupakan sudut-sudut pandang atau aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
1). Ketuhanan Yang Maha Esa; merupakan aspek spiritual,
2). Kemanusiaan yang adil dan beradab; merupakan aspek kultural,
3). Persatuan Indonesia; merupakan aspek politikal,
4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; merupakan aspek sosial,
5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; merupakan aspek ekonomikal.
Kelima sila tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan tersusun secara hirarkis dan berjenjang yaitu sila pertama meliputi sila kedua, sila kedua meliputi sila ketiga, sila ketiga meliputi sila keempat dan sila keempat meliputi sila kelima. Atau sebaliknya dapat dikatakan sila kelima merupakan derivasi sila keempat, sila keempat merupakan derivasi sila ketiga, sila ketiga merupakan derivasi sila kedua dan sila kedua merupakan derivasi sila pertama (Prof. Dr. Notonegoro).
Dengan demikian maka ekonomi Pancasila telah mengandung seluruh nilai-nilai moral Pancasila dan mengacu pada seluruh aspek kehidupan sila-sila dari Pancasila.
Sesuai gambar grafis superposisi pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat tersebut diatas, maka ekonomi Pancasila mewujud dan terdiri atas 3 (tiga) pilar sub sistem, yaitu :
(1). pilar ekonomi negara yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan tugas negara dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, (negara kuat), dengan tugas pokok antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
(2). pilar ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi (sharing antara negara dan rakyat) dan berfungsi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (home front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kehidupan layak bagi seluruh anggotanya.
(3). pilar ekonomi swasta yang berfungsi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia (battle front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kemajuan usaha swasta yang memiliki daya kompetisi tinggi di dunia internasional.
Pengertian kompetisi dalam moral Pancasila bukan dan tidak sama dengan free fight competition a la barat yang di dalamnya mengandung cara-cara yang boleh merugikan fihak lain (tujuan menghalalkan cara).
Hubungan dagang dalam sistem ekonomi Pancasila harus tetap dalam kerangka untuk menjalin tali silaturahmi yang selalu bernuansa saling kasih sayang dan saling menguntungkan, menghindarkan kemuspraan (kesia-siaan).
Pola pengelolaan dari masing-masing pilar ekonomi tersebut berbeda dan membutuhkan kemampuan para pelaksana secara profesional agar hasilnya menjadi optimal sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap mendasarkan kerjanya pada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja pada masing-masing pilar. Masing-masing pilar mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk saling kerjasama dan saling bantu tanpa merugikan salah satu fihak.

5. Koperasi Indonesia :
Berbeda dengan koperasi pada umumnya, maka koperasi yang dimaksud oleh Pancasila dan UUD 45, sesuai gambar grafis superposisi tersebut diatas adalah merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu Masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.
Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan “homo ekonomikus” melainkan lebih bersifat “homo societas”, lebih mementingkan hubungan antar manusia ketimbang kepentingan materi/ekonomi (Jawa: Tuna sathak bathi sanak), contoh : membangun rumah penduduk dengan sistim gotong-royong (sambatan). Akibatnya di dalam sistem ekonomi liberal orang asli Indonesia menjadi termarginalkan tidak ikut dalam gerak operasional mainstream sistem ekonomi liberal yang menguasai sumber kesejahteraan ekonomi sehingga sampai kapanpun rakyat Indonesia tidak akan mengenyam kesejahteraan.
Oleh karena itu sistem ekonomi yang cocok bagi masyarakat Indonesia adalah sistem ekonomi tertutup yang bersifat kekeluargaan atau ekonomi rumah tangga, yaitu bangun koperasi yang menguasai seluruh proses ekonomi dari hulu hingga hilir, dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
Dengan demikian maka koperasi betul-betul menguasai sumber kesejahteraan/rejeki dari sistem ekonomi itu dan dapat mendistribusikannya secara adil dan merata kepada seluruh anggotanya tanpa kecuali, tetapi sangat dipersyaratkan bahwa sistem pengeloaannya haruslah benar dan tertib tanpa kecurangan.
Sebagai contoh pengalaman atas pengelolaan sebuah koperasi yang benar dan tertib adalah Kosudgama (Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada).

Tabel 1. Keanggotaan Kosudgama 1998 – 2002
Tahun Anggota Biasa Anggota Luar Biasa (LB) Jumlah
1998 883 (87%) 127 (13%) 1010 (100%)
1999 1016 (69%) 455 (31%) 1471 (100%)
2000 1170 (42%) 1624 (58%) 2794 (100%)
2001
2002 1285 (32%)
1.371 (26%) 2778 (68%)
3.961 (74%) 4063 (100%)
5.332 (100%)
Sumber: Kosudgama Laporan Tahunan 2001-2002, Periode Kepengurusan 2000-2002

Tabel 2. Pinjaman Kepada Anggota (juta rupiah)
Tahun Pinjaman Jasa Jumlah Peminjam Rata-rata Pinjaman SHU
1998 1.036,75 412,43 422 2,46 130,97
1999 2.872,19 1.252,30 823 3,49 728,94
2000 6.498,70 3.159,19 1.514 4,29 2.999,32
2001
2002 7.311,88
11.846.542 3.513,19
3.541.490 1.478
1.936
4,95
5,97 3.043,55
1.480.10
Sumber: Laporan Tahunan Kosudgama 2001- 2002

Dari pengalaman KOSUDGAMA dapat ditarik pelajaran bahwa:
Pertama : kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip koperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota.
Kedua : KOSUDGAMA adalah koperasi kumpulan orang, bukan organisasi yang terutama dibentuk untuk menghimpun modal, jadi memenuhi prinsip-prinsip dasar koperasi.
Dengan demikian sebagai salah satu pilar dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi Indonesia merupakan sakaguru perekonomian rakyat yang paling strategis untuk menjamin terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Gambaran lebih konkrit dari wujud Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur adalah apabila setiap anggota keluarga memperoleh penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupan keluarga dengan cukup dalam memenuhi 5 jenis kebutuhan dasar hidupnya, yaitu di bidang 1.pangan (cukup gizi), 2.pakaian (pantas, sehat, sopan), 3.perumahan (sehat, aman, nyaman), 4.kesehatan (fisik, mental, lingkungan), dan 5.pendidikan (gratis selama 9 – 15 tahun pertama).
Pengelolaan untuk memenuhi kelima jenis kebutuhan dasar anggota koperasi itu dapat diatur untuk memenuhi 5 jenis kebutuhan pokok yang lain, yaitu : 1.penyediaan lapangan kerja, 2.jaminan sosial, 3.transportasi dan komunikasi, 4.informasi dan pengetahuan umum, 5.pengembangan pribadi. Peningkatan kebutuhan-kebutuhan lain ini akan dapat semakin meningkatkan pendapatan keluarga dan sekaligus untuk memanfaatkan potensi kinerja yang dimiliki tiap anggota koperasi yang hingga kini masih tersia-siakan karena tidak terprogram.
Andil dari negara adalah hak guna pemanfaatan kekayaan alam baik di darat maupun di laut yang dibutuhkan oleh koperasi dalam rangka melaksanakan tugasnya untuk memenuhi kelima kebutuhan dasar hidup maupun kelima kebutuhan pokok para anggotanya, dan berupa fasilitas kemudahan bagi terselenggaranya kerja koperasi antara lain modal dana baik hibah maupun pinjaman lunak.
6. Pengelolaan Koperasi Indonesia :
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa koperasi Indonesia sebagai lembaga ekonomi yang mampu mewujudkan Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur apabila dikelola secara benar dan tertib. Oleh karena itu perlu diberikan arah dan pedoman yang benar agar selalu dapat dikendalikan dan diluruskan setiap kali terjadi penyimpangan.
Sebagai arahan yang benar antara lain dapat dikutipkan beberapa Kesimpulan dan Penutup” dari penulisan “Sistem Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila” (bab 3) dalam buku EKONOMI PANCASILA (Landasan Pikir & Misi Pendirian) PUSTEP UGM sebagai berikut :
a. Reformasi ekonomi mempunyai tujuan kembar yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dan sekaligus menghapus berbagai ketidakadilan ekonomi dengan tujuan akhir terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
b. Reformasi ekonomi Indonesia adalah pembaruan berbagai aturan main tentang hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat. Aturan-aturan main ini secara keseluruhan dibakukan dalam Sistem Ekonomi Pancasila.
c. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancsila yang akan memperkuat jati diri dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia.
d. Ideologi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945, merupakan pegangan dan landasan strategi pembangunan nasional. Namun demikian strategi pembangunan nasional yang dilandasi ideologi nasional Pancasila belum pernah benar-benar diterima dan dilaksanakan secara ikhlas oleh seluruh warga bangsa.
e. Visi masa depan yang jernih hanya dapat diproyeksikan dengan menggunakan ideologi Pancasila yang setiap pelakunya berusaha mewujudkannya dalam tindakan konkrit kehidupan sehari-hari terutama dengan menunjuk pada ajaran-ajaran moral agama.
Dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2 UUD 1945), tanpa kecuali. Pengertian Ini mengandung konsekuensi bahwa segenap tenaga kerja Indonesia harus habis terserap dalam sistem ekonomi Pancasila yang terdiri atas tiga pilar ekonomi tersebut.
Dalam pilar ekonomi negara unsur tenaga kerjanya tentu selektif dan terbatas. Begitu pula dalam pilar ekonomi swasta kebutuhan tenaga kerjanya tentu juga selektif dan terbatas karena harus mampu bekerja secara efisien, efektif dan produktif guna mencapai daya saing yang cukup tinggi dalam dunia perdagangan dan usahanya.
Apabila dalam kedua pilar tersebut diatas kebutuhan tenaga kerjanya terbatas maka dalam pilar ekonomi rakyat atau koperasi penyerapan tenaga kerjanya tidak boleh terbatas karena tidak boleh terjadi adanya tenaga kerja yang tidak mendapat pekerjaan. Sebagai konsekuensinya maka segenap warga negara harus menjadi anggota koperasi Indonesia.
Dengan demikian maka pola pengelolaan koperasi Indonesia dituntut untuk mampu menciptakan suatu sistem manajemen sedemikian sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Untuk keperluan itu dibutuhkan bantuan dari Lembaga Perguruan Tinggi yang terkait dengan masalah tersebut.

1. REVIEW JURNAL:
KOPERASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI PANCASILA
Oleh: Ir. Hariyono


1. Wacana perjuangan
Perjuangan bangsa Indonesia bersama segenap komponen dan eksponen kekuatan nasional seluruh negeri tahap pertama melawan penjajah, yaitu “Mencapai Indonesia Merdeka” telah berhasil dengan gemilang yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan telah dilengkapi pula dengan dasar negara ideologi luhur Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945 sebagai platform pijakan perjuangan tahap kedua menuju cita-cita bangsa.
Bagi bangsa Indonesia proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “berkat rakhmat Allah” (Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga) yang melekat menyertai perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia (Pembukaan UUD 1945 alinea kedua), sedang dalam batang tubuhnya ditegaskan “Negara berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 UUD 1945), yang artinya tatanan dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum dan nilai-nilai Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian maka Proklamasi juga merupakan tekad dan janji bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan janjinya itu secara konsisten, murni dan konsekwen bersama segenap rakyat Indonesia di lingkungan dunia internasional dalam tingkat, harkat, martabat dan derajat yang sama dengan bangsa-bangsa lain.
Perjuangan bangsa tahap kedua telah berjalan selama hampir 58 tahun, namun hasilnya masih sangat mengecewakan bahkan terlihat semakin jauh dari gambaran cita-cita bangsa Indonesia (alinea 4 Pembukaan UUD 1945), yang terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu :
a. Mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pemerintahan yang bersih, berwibawa, stabil dan kuat agar mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
b. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,
c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Oleh karenanya diperlukan langkah pencermatan terhadap pengalaman masa lalu untuk introspeksi dan evaluasi berdasarkan platform tersebut diatas guna menemukan penyebab yang dianggap paling mendasar dari kegagalan perjuangan tahap kedua, kemudian secara induktif dan deduktif dicari berbagai alternatif pemecahannya sebagai upaya antisipatif dari segala penyebab kegagalan tersebut.
Selanjutnya berpijak pada platform tersebut disusunlah rencana baru perjuangan yang lebih realistis dan lebih terukur dalam ruang dan waktu yang tersedia secara kontekstual sesuai dengan hasil analisa situasi dan kondisi obyektif yang nyata serta menyusun strategi dan taktik perjuangan yang lebih relevan untuk tidak mengulangi kegagalan lagi.

2. ringkasan yang kami dapat dari jurnal tersebut adalah:
- Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September 1965) yang dipimpin oleh PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia. Dalam waktu singkat ABRI dapat mengatasi pemberontakan tersebut.
- Kemudian disusul dengan dibentuknya Pemerintahan Orde Baru dibawah pimipinan Jenderal Suharto yang menjanjikan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ternyata secara operasional sejak awal sudah menyimpang dari jiwa Pancasila dan UUD 1945, terbukti dengan terbitnya UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang jelas-jelas bertujuan menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya sistem ekonomiliberal kapitalistik serta diterapkannya sistem ekonomi trickle down effect yang menguntungkan fihak konglomerat dan tidak berpihak kepada kepentingan dan partisipasi rakyat yang nota bene adalah pemegang kedaulatan negara.
- Bagi bangsa Indonesia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kenyataan sejarah adalah kehendak Tuhan. Begitu pula Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 adalah kenyataan sejarah yang merupakan pertanda zaman bagi bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa nasib bangsa Indonesia akan berubah dan berbalik dari sengsara akibat imperalisme dan feodalisme menjadi bahagia berdasar cita-cita luhurnya.
- Oleh karenanya perlu diupayakan kesepakatan nasional untuk penafsiran secara obyektif dan baku dari platform Amanat Proklamasi 45 sedemikan sehingga dapat dihindari tafsiran yang menyimpang dan bahkan kontradiktif terhadap nilai-nilai dasar dari platform tersebut.
3. KESIMPULAN:
Dari uraian singkat tersebut diatas secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut :
1). Penyelenggaraan koperasi yang terjadi hingga sekarang di Indonesia belum sesuai dengan maksud Amanat 1945, yaitu Ekonomi Pancasila, oleh karenanya belum mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
2). Sistem koperasi Indonesia yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Amanat 1945 diyakini dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, karena semua unsur-unsur yang diperlukan bagi penyelenggaraannya sudah tersedia di dalam negeri, tinggal sistem pengelolaan beserta aturan mainnya.
3). Diperlukan pemikiran-pemikiran baru dan konsep-konsep baru yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan dasar sebagaimana dimaksud dalam pengertian Amanat 1945 sehingga rakyat/setiap warga negara dapat dijamin untuk memperoleh hak-haknya melalui keanggotaannya dalam koperasi Indonesia.
4). Diperlukan persiapan yang matang bagi terselenggaranya sistem koperasi Indonesia melalui studi induktif logis maupun deduktif baik formal maupun tradisional kultural.
5). Diperlukan pengertian dan goodwill dari Pemerintah dan semua fihak untuk mengerti dan mendukung serta berpartisipasi aktif dalam usaha pengembangan konsep baru ekonomi Pancasila agar dapat segera mengatasi krisis multi demensional yang terjadi selama ini.

4. REFERENSI JURNAL:
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_6.htm

NAMA KELOMPOK:
1. DISTY MEDINA VANIDA 22210099
2. FACHRURROZY 22210469
3. FERIZAH ARINA M 22210742
4. NIKE APRIANTI 24210978
5. YULIANA EKA PUTRI 282210752
6. WIBISONO SUPRAPTO 28210481

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS