Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Uang dan Pembiayaan Pembangunan 2005-2010


Masalah Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa “siap pakai” dan tetap terhindar dari serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini. Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.
Di Indonesia, tak bisa dipungkiri, trend pembangunan kesehatan bergulir mengikuti pola rezim penguasa. Pada zaman ketika penguasa negeri ini hanya memandang sebelah mata kepada pembangunan kesehatan, kualitas hidup dan derajat kesehatan rakyat kita juga sangat memprihatinkan. Angka Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) negara kita selalu stagnan pada kisaran 117-115 dari sekitar 175 negara Sebagai catatan, HDI adalah ukuran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa yang dilihat dari parameter pembangunan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Ironisnya, rentetan pergantian tampuk kekuasaan selama beberapa dekade terakhir, pun tak kunjung membawa angin perubahan. Apa pasal?
Belum terbitnya kesadaran betapa tercapainya derajat kesehatan optimal sebagai syarat mutlak terwujudnya tatanan masyarakat bangsa yang berkeadaban, serta di pihak lain masih lekatnya anggapan bahwa pembangunan bidang kesehatan semata terkait dengan penanganan sejumlah penyakit tertentu dan penyediaan obat-obatan.
Sudut pandang yang teramat sempit memang, ditambah dengan kecenderungan untuk mendahulukan hal lain yang sesungguhnya masih bisa ditunda. Variabel tadi menemukan titik singgung dengan belum adanya keinginan politik dari pemerintah, rezim boleh berganti namun modus operandi dan motifnya masih serupa; bahwa isu-isu kesehatan hanya didendangkan sekedar menyemarakkan janji dan program-program politik tertentu dalam tujuan jangka pendek.
Untuk kasus Indonesia, belum ada grand strategy yang terarah dalam peningkatan kualitas kesehatan individu dan masyarakat, yang dengan tegas tercermin dari minimnya pos anggaran kesehatan dalam APBN maupun APBD. Belum lagi jika kita ingin bertutur tentang program pengembangan kesehatan maritim yang semestinya menjadi keunggulan komparatif negeri kita yang wilayah perairannya dominan. Pelayanan kesehatan di tiap sentra pelayanan selalu jauh dari memuaskan.
Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang sebagai rendahnya apresiasi kita akan pentingnya bidang ini sebagai elemen penyangga, yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru yang muncul karena kesalahan kita sendiri.
Kabar menarik sesungguhnya mulai terangkat ketika Departemen Kesehatan pada beberapa waktu lalu, mengelurkan konsep pembangunan kesehatan berkelanjutan, dikenal sebagai Visi Indonesia Sehat 2010. Berbagai langkah telah ditempuh untuk mensosialisasikan keberadaan VIS 2010 tersebut, tetapi kemudian menjadi lemah akibat kebijakan desentralisasi dan akhirnya “terpental” dengan diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010, pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang nyatanya cukup bertentangan dengan anutan desentralisasi, dimana kewenangan daerah menjadi otonom untuk menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat jauh dari pusat.
Sistem Kesehatan Nasional
Kebijakan desentralisasi, pada beberapa sisi, telah ikut menggerus pola lama pembangunan, termasuk di bidang kesehatan. Relatif “berkuasanya” kembali daerah-daerah dalam menentukan kebijakan pembangunannya, membuat konsepsi Visi Indonesia Sehat seakan tidak menemukan relung untuk dapat diwujudkan. Impian untuk mewujudkan tangga-tangga pencapaian “sehat”, mulai dari Indonesia sehat 2010, Propinsi Sehat 2008, Kabupaten Sehat 2006 dan Kecamatan Sehat 2004, menjadi miskin makna.
Pada kenyataannya, masih sangat banyak wilayah-wilayah di negeri ini yang sangat jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan berkualitas. Padahal pada saat yang sama, kecenderungan epidemiologi penyakit tak kunjung berubah yang diperparah lemahnya infrastruktur promotif dan preventif di bidang kesehatan.
Kali terakhir, ini juga dapat dipandang sebagai sebuah “terobosan” baru, pemerintah menerbitkan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang dikenal sebagai “Sistem Kesehatan Nasional”. Dokumen ini antara lain disusun berdasarkan pada asumnsi bahwa pembangunan kesehatan merupakan pembangunan manusia seutuhnya untuk mencapai derajat kesehatan yang tertinggi, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak bisa menafikkan peran dan kontribusi sektor lainnya. Singkatnya, pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan bangsa.
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas :
• Upaya Kesehatan
• Pembiayaan Kesehatan
• Sumber Daya Manusia Kesehatan
• Sumber Daya Obat dan Perbekalan Kesehatan
• Pemberdayaan Masyarakat
• Manajemen Kesehatan
Jika kita runut, maka subsistem yang cukup fundamental adalah pembiayaan kesehatan. Ketiadaan atau tidak optimalnya pembiayaan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dan program lainnya, merupakan salah satu penyebab utama tidak tercapainya tujuan pembangunan kesehatan yang kita inginkan. Betapa tidak, hamper semua aktivitas dalam pembangunan tak dapat dipungkiri, membutuhkan dana dan biaya.
Pembiayaan Kesehatan
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.
Di Negara kita, proporsi anggaran pembangunan kesehatan tidak pernah mencapai angka dua digit dibanding dengan total APBN/APBD.
Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) jauh-jauh hari telah menstandarkan anggaran pembangunan kesehatan suatu Negara pada kisaran minimal 5% dari GDP (Gross Domestic Product/Pendapatan Domestik Bruto). Pada tahun 2003, pertemuan para Bupati/Walikota se-Indonesia di Blitar telah juga menyepakati komitmen besarnya anggaran pembangunan kesehatan di daerah-daerah sebesar 15% dari APBD. Kenyataannya, Indonesia hanya mampu mematok anggaran kesehatan sebesar 2,4% dari GDP, atau sekitar 2,2-2,5% dari APBN.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan. Berbagai hal bias dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang mengalami transisi demokrasi ini.
Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan penggunaan anggaran yang efektif dan efisien. Beberapa tahun yang lalu, lembaga transparansi internasional mengumumkan tiga besar intansi pemerintah Indonesia yang paling korup. Nomor satu adalah departemen agama, selanjutnya departemen kesehatan dan terakhir adalah departemen pendidikan.
Temuan ini semakin menguatkan dugaan adanya tindak “mafia” anggaran pembangunan kesehatan pada berbagai instansi kesehatahn di seantero negeri ini. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme – seperti juga dialami di intansi lainnya – tetap berurat akar dengan subur di departemen kesehatan.
Akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan program-program kesehatan yang hanya dilakukan secara asal-asalan dan tidak tepat fungsi.
Relatif ketatnya birokrasi di lingkungan departemen kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di wilayah ini. Peran serta masyarakat dalam pembahasan fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi sangat minim, jika tak mau disebut tidak ada sama sekali.
Pada sisi lain, untuk skala Negara sedang berkembang, Indonesia yang masih berkutat memerangi penyakit-penyakit infeksi tropik akibat masih buruknya pengelolaan lingkungan, seharusnya menempatkan prioritas pembangunan kesehatan pada aspek promotif dan preventif, bukan semata di bidang kuratif dan rehabilitatif saja. Sebagai catatan, rasio anggaran antara promotif dan preventif dengan kuratif-rehabilitatif selama ini berkisar pada 1:3, suatu perbandingan yang tidak cukup investatif untuk bangsa sedang berkembang seperti Indonesia.
Akibatnya, sejumlah program kesehatan di negeri ini masih berputar-putar pada upaya bagaimana mengobati orang yang sakit saja, bukannya mencari akar permasalahan yang menjadi penyebab mereka jatuh sakit kemudian meneyelesaikannya.
Beberapa Pemikiran
Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa yang layak diterapkan di negeri kita, sistem pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan kehidupan masyarakat kita. Depkes sebagai pengemban pertama tanggung jawab konstitusi kita ternyata dalam banyak kasus terbukti tak dapat/ tak mau berbuat banyak.
Anggaran kesehatan yang teramat minim, terlepas basis argumentasinya seperti apa; setidaknya menjadi isyarat akan kenyataan teguh, bahwa memang hal-hal yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak selalu dianggap sepele.
Hal ini didukung pula oleh sifat apatis sebagian besar rakyat kita, dalam mengkritisi kebijakan kesehatan. Pun itu diperparah dengan belum transparannya penggunaan anggaran, dan dana yang ada lebih dialokasikan pada pos-pos yang bukan menjadi kebutuhan mendesak masyarakat, sebagai contoh; beberapa puskesmas di Indonesia memiliki fasilitas mobil ambulans yang lengkap namun di puskesmas tersebut, tenaga medis yang ada hanya sebatas paramedis, tanpa tenaga dokter, sarjana kesehatan masyarakat dan tenaga medis lainnya, jadi proses pemenuhan dan penyediaan kebutuhan masyarakat akan kesehatan tidak berbasis pada analisa kebutuhan tetapi lebih sebagai resultan dari tarik-menarik kepentingan politik nasional maupun lokal.
Dalam lokus kajian spesifik, membengkaknya biaya kesehatan ternyata secara langsung atau tidak juga disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi atau sekolah-sekolah yang berlatar belakang kesehatan. Indonesia menjadi contoh dari mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh para peserta didik dari fakultas kedokteran, akademi maupun sekolah tenaga kesehatan lainnya. Hal ini sangat kontras jika kita bandingkan dengan kasus negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia; dimana negara bertanggung jawab mengucurkan dana besar bagi institusi pendidikan.
Dominasi Negara berlebih-lebihan dalam banyak hal termasuk mewajibkan pegawai negeri sipil, polisi atau militer untuk masuk hanya pada perusahaan asuransi tertentu yang dikelola oleh negara membuka peluang terjadinya praktek korupsi. Model itu sudah selayaknya ditinjau ulang.
Reformasi Kesehatan
Reformasi bidang kesehatan bukan lagi bahasa yang baru. Hanya saja agendanya perlu dipertegas kembali sebagai landasan pembangunan selanjutnya. Jika disederhanakan, agenda reformasi kesehatan akan lebih mengedepankan partisipasi masyarakat dalam menyusun dan menyelenggarakan aspek kesehatannya dengan sesedikit mungkin intervensi pemerintah. Pemberdayaan masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan dan pemihakan terhadap kaum miskin menjadi syarat penerimaan universalitasnya.
Gunawan Setiadi, seorang dokter dan master bidang kesehatan, mengungkapkan beberapa alasan mengapa masyarakat dapat menyelenggarakan kesehatannya, dan lebih baik dari pemerintah, antara lain:
(a) komitmen masyarakat lebih besar dibandingkan pegawai yang digaji;
(b) masyarakat lebih paham masalahnya sendiri;
(c) masyarakat dapat memecahkan masalah, sedangkan kalangan profesional/pemerintah sekadar memberikan pelayanan;
(d) masyarakat lebih fleksibel dan kreatif;
(e) masyarakat mampu memberikan pelayanan yang lebih murah; dan
(f) standar perilaku ditegakkan lebih efektif oleh masyarakat dibandingkan birokrat atau profesional kesehatan.
Pandangan-pandangan di atas menjadi cukup beralasan muncul dengan melihat kecenderungan rendahnya etos kerja birokrat dan profesional kesehatan selama ini. Sudah saatnya penyelenggaraan kesehatan diprakarsai oleh masyarakat sendiri, sehingga pemaknaan atas hidup sehat menjadi sebuah budaya baru, di mana di dalamnya terbangun kepercayaan, penghargaan atas hak hidup dan menyuburnya norma-norma kemanusiaan lainnya. Model penyelenggaraan kesehatan berbasis pemberdayaan (empowerment) harus disusun secara rasional dengan sedapat mungkin melibatkan semua stakeholder terkait.
Jadi, prioritas pembangunan kesehatan sedapat mungkin lebih diarahkan untuk masyarakat miskin – mereka yang jumlahnya mayoritas dan telah banyak terampas haknya selama ini. Untuk itu, sasaran dari subsidi pemerintah di bidang kesehatan perlu dipertajam dengan jalan antara lain :
Pertama, meningkatkan anggaran bagi program-program kesehatan yang banyak berkaitan dengan penduduk miskin. Misalnya program pemberantasan penyakit menular, pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan gizi masyarakat.
Kedua, meningkatkan subsidi bagi sarana pelayanan kesehatan yang banyak melayani penduduk miskin, yaitu Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, ruang rawat inap kelas III di rumah sakit. Untuk itu, subsidi bantuan biaya operasional rumah sakit perlu ditingkatkan untuk menghindari praktik eksploitasi dan ‘pemalakan’ pasien miskin atas nama biaya perawatan.
Ketiga, mengurangi anggaran bagi program yang secara tidak langsung membantu masyarakat miskin mengatasi masalah kesehatannya. Contohnya adalah pengadaan alat kedokteran canggih, program kesehatan olahraga dan lain sebagainya.
Keempat, mengurangi subsidi pemerintah kepada sarana pelayanan kesehatan yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat miskin, misalnya pembangunan rumah sakit-rumah sakit stroke.

SUMBER:http//www.wartakota.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

perekonomian indonesia 2004-2009

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2004-2009

   Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh program pembangunan nasional (Propenas 2000-2004 dan sejalan dengan CBHN 1999-2004 adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperluas landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran itu Propenas menggunakan sejumlah indikator yang mencakup antara lain pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara bertahap sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi sekitar 5,1 persen, dan menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Semua sasaran kuantitatif itu tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2002 masih sekitar 3,7 persen, sementara angka pengangguran menurut Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2002 masih sekitar 9,1 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah hampir mencapai 100 juta jiwa.
     Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sangat besar dan komplek : besar, karena menyangkut jutaan jiwa, dan kompleks, karena masalahnya mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah untuk difahami. Faktor demografis mempengaruhi jumlah dan komposisi angkatan kerja. Indonesia cukup berhasil dalam menurunkan angka kelahiran dan kematian secara berkesinambungan. Hal ini justru berdampak pada pertumbuhan penduduk usia kerja yang jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. Fakta ini menunjukkan tekanan kuat dalam sisi penyediaan tenaga kerja. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi secara nasional masih terlalu rendah, yaitu hanya 3,7 persen pada tahun 2002, suatu angka yang terlalu rendah untuk dapat menyediakan lapangan kerja baru secara memadai. Akibatnya, angka pengangguran terus meningkat mencapai 9,13 juta jiwa pada tahun yang sama.
      Tekanan demografis terhadap sisi penawaran (supply side) tenaga kerja dapat digambarkan sebagai berikut : Pertumbuhan penduduk usia kerja selama kurun 2000-2005 diperkirakan akan mencapai 1,7 persen per tahun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk secara keseluruhan yang dalam kurun waktu 2000-2005 dan 2005-2009 diperkirakan masing-masing hanya 1,3 persen dan 1,1 persen per tahun. Kecenderungan tersebut adalah sebagai akibat penurunan angka kelahiran dan kematian secara berkesinambungan. Hal tersebut mempunyai konsekuensi kebijakan yang jelas. Strategi pengurangan penawaran tenaga kerja melalui penurunan laju pertumbuhan penduduk tidak akan efektif lagi.
       Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yang penting adalah masih sulitnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor negara-negara berkermbang, iklim investasi, pasar global, berbagai regulasi dan perilaku birokrasi yang kurang kondusif bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah di tengah dunia usaha yang masih lesu. Masalah lain, yang tak kalah pentingnya adalah pelaksanaan etonomi daerah yang dalam banyak hal seringkali tidak mendukung penciptaan lapangan kerja atau "tidak ramah" terhadap tenaga kerja. Masalah ketenagakerjaan secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah-masalah lainnya termasuk kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan stabilitas politik. Semua ini secara intuitif tampaknya telah dipahami oleh kebanyakan pengambil kebijakan. Yang tampaknya kurangnya dipahami adalah bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multi-dimensi pula. Tidak ada jalan pintas dan sederhana untuk mengatasinya.
         Secara teoritis, ada tiga cara pokok untuk menciptakan kesempatan kerja atau berusaha dalam jangka panjang. Cara pertama adalah dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi penawaran tenaga kerja. Tetapi seperti dikemukakan di atas, cara ini tidak memadai bagi Indonesia karena angka kelahiran memang tidak relatif rendah dan dampaknya terhadap pertumbuhan tenaga kerja kurang signifikan dalam jangka pendek. Cara kedua adalah dengan meningkatkan intensitas pekerja dalam menghasilkan output (labour intensity of output). Tetapi dalam jangka panjang, cara ini tidak selalu berhasil karena tidak selalu kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Cara ketiga adalah melalui pertumbuhan ekonomi. Cara ini bukan tanpa kualifikasi karena secara empiris terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak terdapat hubungan otomatis atau niscaya, tetapi justru tantangannya menjadi riil, karena hubungan yang tidak otomatis itu, maka peranan pemerintah menjadi strategis dan crucial untuk merancang strategi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga "ramah" terhadap ketenagakerjaan (employment - friendly - growth).
         Bagi Indonesia, strategi pemulihan dan rekonstruksi ekonomi yang bertumpu pada penciptaan lapangan kerja bukan pilihan, tetapi sesuai dengan amanat GBHN merupakan keharusan untuk dapat segera keluar sepenuhnya dari krisis ekonomi yang berkepanjangan yang telah terjadi semenjak pertengahan 1997. Walaupun dari sisi ekonomi sudah tampak ada gejala pemulihan namun dari sisi ketenagakerjaan gejala pemulihan belum menyakinkan. Angka penganggur terbuka, misalnya sangat relevan untuk diperhatikan secara serius dua elemen strategi yang pernah diajukan oleh Misi ILO (1999:5) : (i) strategi dan kebijakan yang membuat proses pertumbuhan ekonomi menjadi lebih memperhatikan aspek ketenagakerjaan, dan (ii) tindakan yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja tambahan melalui program-program penciptaan lapangan kerja secara langsung.
        Di luar gambaran "buram" profil ketenagakerjaan itu, sebenarnya masih ada aspek positif yang dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk perumusan kebijakan ketenagakerjaan di masa mendatang. Aspek itu adalah perhatian positif terhadap hak-hak dasar pekerja yang dalam rumusan Misi ILO (1995:5) dinyatakan sebagai berikut: Krisis ekonomi ternyata tidak menutup munculnya hal-hal positif dari Indonesia, justru pada masa krisis ekonomi di Indonesia terjadi pemulihan hak-hak mendasar pekerja secara besar-besaran. Sesungguhnya Indonesia telah menoreh suatu rekor sejarah dengan menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang telah meratifikasikan seluruh konsep dasar ILO yang berkenaan dengan perlindungan hak-hak asasi mendasar manusia. Dan hal ini justru terjadi ketika perekonomian Indonesia sedang jatuh ke titik terendah, yaitu ketika perekonomian Indonesia mengalami penyusutan (kontraksi) besar-besaran pada tahun 1998, yaitu minus 13,1 persen.

Analisis Situasi Pasar Kerja
1. Pada tahun 2002, dari sekitar 148,7 juta penduduk usia kerja terdapat 100,8 juta atau 67,8 persen angkatan kerja. Dari 100,8 juta angkatan kerja 9,1 juta atau 9,1 persen menganggur atau tidak tertampung dalam pasar kerja. Kemudian dari 91,6 juta yang bekerja, sekitar 12,0 juta atau 13,1 persen tergolong setengah menganggur, yakni mereka yang walaupun sudah bekerja tetapi bekerja di bawah waktu normal dan masih mencari kerja.

2. Selama 1996-2002, lapangan usaha pertanian mempunyai peran yang sangat strategis bagi ketenagakerjaan Indonesia : secara rata-rata, untuk setiap 10 orang pekerja Indonesia, 4-5 diantaranya bekerja atau berusaha di lapangan usaha itu. Implikasi kebijaksanaan dari fakta ini jelas, adalah tidak realistis jika lapangan usaha pertanian diabaikan dalam kerangka perencanaan pembangunan makro. Lebih dari itu, lapangan usaha pertanian terbukti paling lentur dan telah menjadi semacam katup pengaman bagi "kelebihan" tenaga kerja di sektor formal bukan pertanian yang mengalami pukulan keras dari krisis ekonomi.

3. Pekerja Indonesia masih sangat terkonsentrasi pada profesi petani dan tenaga kerja produksi. Profesi-profesi lain yang tergolong memiliki produktivitas tinggi termasuk profesional/teknisi dan mangerial/administrasi masih sangat rendah proporsinya. Hal ini berlaku bagi semua lapangan usaha termasuk industri pengolahan. Lebih dari 90 persen pekerja industri pengolahan berprofesi sebagai tenaga kerja produksi, sementara proporsi tenaga kerja profesional/teknisi atau tenaga managerial/administrasi masih kurang dari satu persen. Selain itu, tingkat pendidikan pekerja Indonesia relatif masih rendah : proporsi pekerja yang berpendidikan SLTP atau pendidikan yang lebih rendah masih sekitar 70 persen.

4. Pada tahun 2002, masih sekitar dua-per tiga pekerja bekerja atau berusaha di sektor informal, suatu sektor yang bercirikan berskala serba kecil dilihat dari modal maupun tenaga kerja yang seringkali masih memiliki hubungan keluarga, serta memiliki mobilitas yang tinggi dalam arti mudah berubah bidang kegiatannya. Dengan ciri semacam itu, maka sektor informal sulit diintervensi. Karena sifatnya yang mudah dimasuki, maka sektor informal menjadi semacam "penyangga" yang strategis untuk menampung tenaga kerja "berlebih" yang tidak tertampung di sektor formal.

5. Gejala lain yang menarik adalah bahwa secara umum, sejak 1998 pekerja sektor formal mengalami kenaikan secara perlahan. Hal ini terutama berlaku di daerah kota untuk semua lapangan usaha bukan pertanian, kecuali jasa. Sedikit penurunan pekerja sektor formal hanya berlaku di daerah pedesaan, terutama untuk lapangan usaha bukan pertanian selama kurun 1998-2000, tetapi kemudian naik dalam 2 (dua) tahun berikutnya. Ini mengindikasikan adanya gejala "pemulihan" ketenagakerjaan, suatu indikasi yang tampaknya berlawanan dengan dugaan banyak pengamat (lihat, misalnya Bappenas 2003).

6. Kenyataan bahwa secara umum ada kenaikan pekerja sektor formal, sama sekali tidak mengurangi arti pentingnya sektor traditional atau informal yang mendominasi pasar kerja Indonesia. Kenyataan ini tentunya tidak dapat diabaikan dalam rancangan arus utama kebijaksanaan makro dan perencanaan tenaga kerja. Walaupun demikian dalam praktek hal itu tidak mudah diaplikasikan karena dua alasan sederhana, pertama Karakteristik pekerja sektor informasl yang serba marginal sukar diintervensi secara langsung, Kedua Kebijaksanaan yang memperhatikan kepentingan pekerja sektor formal dan pekerja sektor informal sekaligus masih sulit dirumuskan.

7. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum krisis (1997) tergolong tinggi walaupun berfluktuasi. Pada kurun 1976 - 1981 atau era "oil-boom", angka pertumbuhan sekitar 7 - 11 persen per tahun, sebelum mencapai puncaknya, 13,5 persen pada tahun 1982. Akibat penurunan harga minyak di pasar internasional secara berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi turun drastis menjadi hanya sekitar 2,5 persen pada tahun 1985. Walaupun demikian, sejumlah paket reformasi kebijakan dan penyesuaian berhasil menghantarkan Indonesia pada periode transisi (1982-1985) secara relatif mulus, sehingga selama periode itu, angka pertumbuhan mencapai 6,8 persen per tahun. Setelah periode itu, pertumbuhan ekonomi mengalami periode "recovery" (1986-1989) dan "non-oil boom" (1990-1997) dengan rata-rata angka pertumbuhan berturut-turut 6,0 dan 6,9 persen per tahun. Secara keseluruhan, selama periode 1982-1997 angka pertumbuhan mencapai 6,7 persen per tahun.

8. Perubahan struktural juga terjadi dalam bidang ketenagakerjaan, sebagaimana terlihat antara lain dari pertambahan absolut jumlah tenaga kerja di sektor bukan pertanian. Selama kurun waktu 1990-1997, tenaga kerja sektor bukan pertanian meningkat lebih dari 16,5 juta orang, sebaliknya tenaga kerja di sektor pertanian, barangkali untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, turun lebih dari 6,7 juta orang. Pertambahan tenaga kerja bukan pertanian mencolok di sektor perdagangan, jasa, industri dan konstruksi. Selama kurun waktu itu, tenaga kerja bukan pertanian secara keseluruhan tumbuh sekitar 6,0 persen per tahun.

9. Krisis ekonomi yang berlangsung mulai pertengahan tahun 1997 mengakibatkan perubahan struktural kinerja perekenomian dan pasar kerja di Indonesia. Pada puncak krisis (1998), perekonomian Indonesia mengalami kontraksi yang luar biasa sebagaimana ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang mencapai minus 13,1 persen. Pasar kerja juga mengalami perubahan drastis, hanya dalam setahun (1997-1998) sektor bukan pertanian berkurang lebih dari 2,5 juta jiwa, sementara sektor pertanian bertambah lebih dari 4,3 juta jiwa, padahal dalam kurun sebelumnya (1990-1997) telah berkurang sekitar 6,7 juta jiwa. Peralihan tenaga kerja ke sektor pertanian selama krisis memperlihatkan kelenturan atau fleksibilitas pasar tenaga kerja.

10. Dampak negatif krisis yang mencolok terjadi pada sektor industri dan konstruksi. Pada kedua sektor tersebut, PDB turun masing-masing 11,4 dan 36,4 persen, sementara tenaga kerja berkurang masing-masing sekitar 1 juta dan 600 ribu orang. Berkurangnya permintaan tenaga kerja di sektor bukan pertanian, memaksa sektor pertanian, sektor yang pada periode non-oil boom "diperlemah", untuk menjadi sektor andalan dalam menampung tenaga kerja yang kehilangan peluang bekerja di sektor bukan pertanian. Peran strategis tersebut tampaknya masih akan diperankan oleh sektor pertanian, sekalipun mulai tampak gejala pemulihan sektor lainnya secara bertahap. Secara absolut, tenaga kerja di sektor pertanian masih bertambah, tetapi tenaga kerja di sektor bukan pertanian juga bertambah hampir dua kali lipat. Utamanya tenaga kerja yang berstatus sebagai buruh, pertumbuhannya jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan tenaga kerja secara keseluruhan.

11. Dalam pasar kerja Indonesia terdapat semacam mismatch antara lulusan pendidikan dan dunia kerja. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan indeks upah tenaga terdidik (di atas SLTA) antar tahun, relatif terhadap tenaga kerja tak terdidik (di bawah SD), terutama dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut mengindikasikan : a) permintaan terhadap tenaga kerja terdidik lebih cepat dari pada permintaan terhadap total tenaga kerja secara keseluruhan, b) permintaan tenaga kerja terdidik lebih cepat dari pada penawaran tenaga kerja terdidik, dan c) dua-duanya. Implikasinya antara lain, ketimpangan upah meningkat, permintaan dan kelangkaan tenaga kerja tidak terpenuhi, dan mengherankan adalah angka penganggur terdidik, sebagaimana disinggung sebelumnya, relatif tinggi terutama di daerah perkotaan.

12. Aspek lain mengenai upah buruh yang perlu dicermati adalah bahwa perbedaan tingkat upah antara pekerja formal dan informal cenderung melebar sejak kuartal pertama tahun 2000. Gejala ini tampaknya menyerupai pola "Amerika Latin", suatu gejala yang tidak menguntungkan bagi kepentingan pekerja secara keseluruhan.

13. Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan yang kritis pada umumnya menganggap penganggur bukan masalah ketenagakerjaan yang serius. Argumennya adalah karena, pekerjaan cenderung dikerjakan bersama dan menganggur dianggap sebagai barang mewah yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Hal itu ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja. Karena masalahnya dianggap kecil, maka tidaklah mengherankan jika saran penyelesaiannya tampak sederhana.

14. Tetapi berbeda dengan keadaan 1980-1n, angka penganggur, sebagai salah satu besarnya masalah ketenagakerjaan di Indonesia, sudah relatif tinggi, bahkan dalam standar internasional. Tidaklah berlebihan bahwa masalah pengangguran kini sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan, sebagaimana dikemukakan oleh seorang pengamat ekonomi melalui suatu harian terkemuka (Kompas, Juli 2003). Sebagai argumen, pengamat itu mengemukakan angka penganggur yang fantastis, sekitar 18 juta orang, suatu angka yang jauh di atas angka "resmi".

15. Pada tahun 1997, angka pengangguran sudah mencapai 4,2 juta atau 4,7 persen dari angkatan kerja. Angka itu cenderung terus naik, sehingga pada tahun 2002 menjadi 9,13 juta atau 9,1 persen dari total angkatan kerja. Angka itu masih jauh lebih tinggi dari yang diharapkan Propenas (5,1 persen) dan lebih tinggi dari pada angka pengangguran untuk tahun 1998, yaitu ketika krisis sedang mencapai puncaknya (hanya 5,5 persen). Kenaikan itu mengindikasikan semakin buruknya masalah ketenagakerjaan di Indonesia.

16. Menekan angka penganggur sehingga mencapai tingkat sebagaimana ditargetkan Propenas jelas memerlukan upaya ekstra keras dan sistematis. Angka penganggur sampai tahun 2009 diperkirakan masih akan berjumlah sekitar 7,5 juta jiwa atau 5,5 persen dari total angkatan kerja.

17. Seperti halnya target Propenas untuk menurunkan angka penganggur, target Propenas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi juga diramalkan jauh dari harapan, karena pada kurun 2005-2009 angka rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun diramalkan hanya sekitar 6 persen.

18. Masalah setengah penganggur juga tidak dapat diabaikan, terutama jika fokusnya diarahkan pada daerah pedesaan. Total pekerja yang berkategori setengah penganggur pada tahun 2002 berjumlah 12,0 juta jiwa atau 13,1 persen dari total penduduk yang bekerja.
Prospek Ketenagakerjaan Sampai Tahun 2009
1. Dalam penyusunan Perencanaan Tenaga Kerja Nasional 2004-2009 ini, dalam penghitungan proyeksi penduduk menggunakan asumsi turunya tingkat kelahiran dan tingkat kematian. Diasumsikan bahwa pada tahun 2010 Total Fertility Rate (TFR) mencapai 2,15 dan angka harapan hidup wanita mencapai 70 tahun. Proyeksi tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) didasarkan pada hasil proyeksi penduduk dengan asumsi bahwa TPAK 2010 mengikuti perkermbangan TPAK selama kurun 1990-2000, dengan pola pertumbuhan linier. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, maka angkatan kerja diperkirakan masih akan tumbuh secara cepat, jauh lebih cepat dari laju pertumbuhan penduduk secara keseluruhan.

2. Hasil proyeksi menunjukkan jumlah penduduk tahun 2009 mencapai 228,9 juta jiwa, sekitar 168,9 juta jiwa atau 73,7 persen diataranya adalah penduduk usia kerja. Sekitar 116,5 juta jiwa atau 69,0 persen dari penduduk usia kerja diproyeksikan akan memasuki pasar kerja, suatu jumlah yang sangat "menakutkan" melihat kemampuan ekonomi nasional yang sampai kini belum jelas benar arahnya. Angkatan kerja yang menganggur diperkirakan akan berkurang mulai tahun 2006, sehingga pada tahun 2009 jumlahnya akan mencapai sekitar 7,5 juta jiwa atau 5,5 persen dari angkatan kerja.

3. Ramalan ekonomi makro didasarkan model Keynesian dan difokuskan pada sisi penggunaan dengan asumsi moderat. Variabel-variabel yang digunakan dalam model ini diantaranya adalah konsumsi rumah tangga, ekspor, impor, suku bunga, jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah, inflasi serta perekonomian USA dan Jepang. Berdasarkan model tersebut diperkirakan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia per tahun adalah 4,1 persen untuk kurun waktu 2000-2004 dan 6,0 persen untuk kurun waktu 2005-2009. Percepatan laju pertumbuhan itu didasarkan pada satu anggapan bahwa upaya perbaikan dan reformasi yang kini tengah berlangsung memerlukan jarak waktu untuk dapat efektif, sehingga dampaknya baru akan terasa dalam paruh kedua dekade 2000-an ini. Pertumbuhan dialami oleh semua sektor ekonomi walaupun tingkatnya bervariasi. Sektor pertanian diperkirakan akan berkurang melambat, sementara sektor industri dan konstruksi diperkirakan akan mulai pulih.

4. Metode yang digunakan untuk memperkirakan sisi penawaran tenaga kerja adalah metode regresi simultan, karena metode input-output dan elastisitas memberikan hasil yang kurang realistis. Dengan metode ini kesempatan kerja per sektor secara umum dimodelkan sebagai fungsi dari nilai tambah dan kesempatan kerja tahun sebelumnya. Hasil ramalan dengan metode ini menunjukkan secara keseluruhan sisi permintaan tenaga kerja masih akan lebih rendah dari yang ditawarkan, sehingga masih tercipta penganggur sekitar 6-11 persen dari total angkatan kerja. Dalam kurun waktu 2003-2005 diperkirakan akan terserap sekitar 6,1 juta tenaga kerja sedangkan dalam kurun waktu 2005-2009 akan terserap tenaga kerja sekitar 12,7 juta tenaga kerja. Selain sektor pertanian, sektor lain yang berpotensi menyerap tenaga kerja adalah industri, perdagangan dan jasa.

Kebijakan Ketenagakerjaan
 -Kebijakan Umum
1. Masalah-masalah ketenagakerjaan bersifat multi-dimensi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan pola hubungan yang kompleks sehingga penyelesaiannya menuntut arah kebijakan dan pendekatan yang multi-dimensi pula. Masalah ketenagakerjaan yang berskala besar, kompleks, serta masih didominasi oleh tenaga kerja pertanian dan sektor informal memerlukan kebijakan pasar kerja yang lentur (labour market flexibility). Melalui kebijakan itu, pihak pengusaha diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketenagakerjaan internal melalui penyelesaian tingkat upah, bukan melalui pemutusan hubungan kerja yang berdampak sangat luas. Kebijakan semacam itu diharapkan dapat mempersempit tingkat kesenjangan upah antara lapangan usaha formal dan sektor informal, menekan laju kenaikan pengangguran terbuka, serta menurunkan angka kemiskinan.

2. Lapangan usaha pertanian perlu diperkuat karena sebagian besar pekerja Indonesia masih mengandalkan lapangan usaha itu. Namun perlu dikemukakan suatu catatan bahwa lapangan usaha pertanian tidak mudah dijangkau oleh kebijakan ketenagakerjaan secara langsung, tetapi perlu ditempuh melalui sejumlah upaya tidak langsung termasuk pengaturan tata niaga produk pertanian dan harga input pertanian (pupuk, pestisida, dan sebagainya). Selain itu, deregulasi perdagangan produk pertanian yang dilansir sejak tahun 1998 dan dimaksudkan untuk menghapuskan distorsi monopoli lokal, restriksi perdagangan serta hambatan-hambatan perdagangan lainnya, masih sangat relevan untuk tetap dilanjutkan. karena jika monopoli komoditi pertanian tidak dihentikan, maka akan berdampak sangat luas dan serius terhadap kesejahteraan petani miskin dan petani serta pedagang berskala kecil, serta akan memberikan dampak yang tidak baik pula bagi memburuknya peluang kerja pada musim panen ataupun musim tanam bagi buruh tani.

3. Perhatian lebih besar perlu diberikan kepada jenis-jenis industri manufaktur yang dapat mendorong pertumbuhan yang ramah tenaga kerja (employment-friendly-growth). Industri tersebut bercirikan tidak terlalu tergantung pada bahan impor (yakni industri-industri yang berbasis alamiah) atau berorientasi pasar domestik yang dapat memberikan input bagi industri-industri yang sangat bergantung pada impor. Hal ini karena diperkirakan 90 persen industri di Indonesia termasuk kategori itu, sehingga jelas merupakan lapangan usaha andalan dalam menyediakan lapangan kerja setelah pertanian. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa upaya ke arah ini dalam prakteknya menghadapi sejumlah kendala sejak dari proses permohonan ijin usaha, permohonan kredit bank sampai sejumlah jenis "retribusi" pada tingkat propinsi atau kabupaten/kota.

4. Sebelum perekonomian mencapai tingkat dimana semua pelaku pasar terlibat dalam kelembagaan perekonomian modern, maka lapangan usaha informal sama sekali tidak dapat diabaikan dalam menyerap tenaga kerja. Kekuatan lapangan usaha informal adalah kemudahan untuk memasukinya dan barangkali yang lebih penting di dalam era globalisasi, tidak terkait secara langsung oleh dampak negatif globalisasi.

5. Peranan pemerintah dalam menangani tekanan upah buruh sangat krusial, di satu sisi pemerintah berkewajiban menyediakan sistem pengaman atau jaring sosial yang efektif untuk menjamin tidak ada buruh yang "terjatuh" dan diabaikan hak-hak hidup layaknya, disisi lain pemerintah harus realistis bahwa akibat krisis dan sebab yang lain yang lebih bersifat struktural dan kultural, bagi sebagian pengusaha situasi yang dihadapi masih belum kondusif untuk memberikan balas jasa pekerjaan yang layak. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah terus mendorong dialog yang cerdas antara pihak buruh dan pengusaha untuk mencapai konsensus dalam penetapan upah buruh. Pemerintah juga "memiliki kewajiban moral" untuk menyediakan acuan normatif dalam penetapan upah layak yang berbasis empiris serta memperoleh pengakuan sepenuhnya dari pihak buruh dan pengusaha.

6. Dalam era otonomi daerah, tantangan pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam bidang ketenagakerjaan adalah melakukan analisis situasi, merencanakan, serta memonitor proses pembangunan yang bertumpu pada ketenaga-kerjaan. Dalam kaitan ini, semacam sistem informasi ketenagakerjaan akan sangat membantu sebagai alat kebijakan.

7. Proses globalisasi dengan segala manfaat dan dampak negatifnya, adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Kebijakan ekonomi yang terpenting untuk menghindari dampak negatif globalisasi adalah tidak melalui pasar kerja secara langsung, tetapi melalui kebijaksanaan tidak langsung seperti pemberian prioritas terhadap pendidikan bagi semua dan regulasi finansial dan manejemen makro ekonomi yang sound.

8. Sejauh perekonomian dalam negeri masih terlalu terbatas untuk menyediakan kesempatan kerja atau usaha bagi angkatan kerja yang berjumlah besar, maka pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri masih tetap akan strategis. Kebijaksanaan menyeluruh dan terpadu untuk memberikan perlindungan terhadap mereka tampaknya masih perlu disempurnakan.

9. Upaya yang bersifat langsung untuk menciptakan lapangan pekerjaan dapat ditempuh melalui pemberdayaan serta pemberian kesempatan bagi pengusaha lokal untuk menggarap proyek-proyek pembangunan sarana fisik dasar (gedung sekolah, sarana kesehatan dasar, irigasi pertanian, dan pembangunan jalan). Upaya ini jelas bernilai strategis karena dampaknya jangka panjang.

10. Sistem statistik ketenagakerjaan di Indonesia harus diakui masih lemah sehingga perlu dikembangkan. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengembangkan sistem itu crucial dalam mengindentifikasi data statistik ketenagakerjaan yang relevan untuk analisis situasi, perencanaan dan monitoring ketenagakerjaan. Dalam era ekonomi daerah ini, kebutuhan mendesak adalah menyediakan sistem pengumpulan data untuk menyajikan data sampai tingkat propinsi dan bahkan kabupaten/kota. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), survei yang berfokus pada ketenagakerjaan, baru mampu menyediakan data untuk level nasional dan beberapa (tidak semua) propinsi. Perlu dijajagi kemungkinan pembiayaan survei itu dibebankan kepada anggaran pembangunan daerah.

-Penciptaan Kesempatan Kerja Sektoral
1. Lapangan usaha pertanian sangat dominan dalam penyerapan kesempatan kerja. Kegiatan produksi lapangan usaha pertanian sebagian besar masih mengikuti pola tradisional dengan tingkat produktifitas dan tingkat pendidikan tenaga kerjanya masih sangat rendah. Walaupun demikian, karena perannya masih sangat dominan dalam menyerap tenaga kerja, maka pengembangan lapangan usaha ini masih perlu diprioritaskan. Dalam kurun 2005-2009, pertumbuhan nilai tambah lapangan usaha ini rata-rata masih sekitar 2,7 persen per tahun dengan penciptaan tambahan kesempatan kerja sebanyak 1,4 juta orang, sehingga total penduduk yang bekerja di lapangan usaha itu pada tahun 2009 berjumlah 42,4 juta orang. Perkiraan kesempatan kerja ini tidak akan dapat direalisasikan apabila kebijakan, strategi, dan program pengembangan lapangan usaha pertanian tidak berbasis ketenagakerjaan. Kebijaksanaan dan strategi itu menghendaki dipertahankannya konsep padat karya (labour intensive) dengan dukungan berupa kemudahan untuk mengakses modal bagi petani penggarap, serta sejumlah peraturan yang diarahkan pada peningkatan kegiatan produksi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

2. Lapangan usaha pertambangan dan penggalian yang mencakup pertambangan minyak dan gas bumi (migas), pertambangan tanpa minyak dan gas bumi, dan penggalian dengan produknya yang sangat strategis bagi perekonomian Indonesia karena merupakan komoditi ekspor utama Indonesia. Daya serap tenaga kerja lapangan usaha ini relatif rendah, terendah kedua setelah lapangan usaha listrik, gas, dan air. Selama 2005-2009 lapangan usaha ini akan menciptakan kesempatan kerja baru kumulatif sebanyak 90.000 orang. Dalam hal ini diasumsikan bahwa pertumbuhan nilai tambah lapangan usaha ini selama periode tersebut adalah rata-rata sebesar 5,0 persen setiap tahun. Karena itu, diharapkan lapangan usaha ini dapat memperluas wilayah-wilayah baru untuk penambangan, serta meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia untuk dapat menggantikan tenaga kerja asing yang umumnya masih mendominasi di lapangan usaha ini. Kebijakan lainnya adalah meningkatkan investasi di bidang penggalian, dengan meningkatkan promosi deposit bahan galian yang tersebar di wilayah Indonesia dan sekaligus memberikan insentif kepada para investor dalam dan luar negeri.

3. Selama kurun 2005-2009 lapangan usaha industri pengolahan diharapkan dapat tumbuh sebesar 6,2 persen per tahun dan diharapkan mampu menyediakan sekitar 2,1 juta kesempatan kerja baru. Pada tahun 2009 diperkirakan akan terdapat sekitar 15,0 juta orang yang bekerja di lapangan usaha ini. Upaya untuk meningkatkan daya serap lapangan usaha ini memerlukan koordinasi antara dunia usaha dengan penyusun kebijakan yang berkaitan dengan berbagai hal, termasuk restrukturisasi industri, teknologi dan ketenagakerjaan. Untuk mendukung kebijakan kearah itu, beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan meliputi antara lain : a) lebih mengintensifkan penyebaran informasi di tingkat daerah, b). menyiapkan tenaga kerja yang trampil dan dapat bersaing di pasar kerja dengan memperhatikan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, c). penyederhanaan birokrasi, prosedur perijinan dan prosedur ekspor-impor, dan d). upaya menstabilkan harga, nilai tukar rupiah dan pajak.

4. Secara relatif peranan lapangan usaha listrik, gas dan air dalam penciptaan kesempatan kerja tidak besar. Selama kurun 2005-2009 lapangan usaha ini diperkirakan akan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 83.000 orang dan nilai tambah lapangan usaha diasumsikan tumbuh 6,4 persen per tahun. Daya serap tenaga kerja lapangan usaha ini perlu ditingkatkan dengan tetap mempertahankan prinsif efisiensi dan produktivitas kegiatan usaha, serta kebijakan yang berwawasan ketenagakerjaan yang lebih ramah terhadap penciptaan kesempatan kerja. Upaya kearah itu perlu dilakukan karena produk lapangan usaha ini diperkirakan akan meningkat sejalan dengan perbaikan taraf hidup yang didorong oleh perbaikan perekonomian nasional.

5. Selama kurun 2005-2009 nilai tambah lapangan usaha konstruksi diperkirakan akan naik sekitar, 5,4 persen per tahun dan diharapkan dapat menciptakan sekitar 649.000 kesempatan kerja baru sehingga pada tahun 2009 di lapangan usaha ini akan berjumlah sekitar 5,2 juta orang. Arah kebijakan dan strategi yang diperlukan bagi pengembangan lapangan usaha ini adalah tetap melanjutkan dan mengembangkan kegiatan pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik serta memperhatikan teknologi yang tepat guna, sehingga selain mampu menghasilkan produk yang kokoh, juga mampu menyerap pekerja dalam jumlah yang memadai.

6. Pada tahun 2002, lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran memberikan kesempatan kerja bagi sekitar 17,8 juta orang, dan perbandingan dengan tahun sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan kontribusi secara absolut maupun relatif. Sampai tahun 2009, aktivitas lapangan usaha ini diperkirakan akan semakin meningkat atau paling tidak tetap stabil dan akan signifikan peranannya dalam penciptaan kesempatan kerja. Selama 2005-2009, lapangan usaha ini diperkirakan akan menyerap sekitar 3,5 juta tenaga kerja, suatu angka yang sangat besar bila dibandingkan dengan lapangan usaha yang lain. Dalam hal ini diasumsikan bahwa dalam periode itu pertumbuhan nilai tambah ekonomi rata-rata sekitar 5,2 persen setiap tahun. Angka tersebut hanya akan terealisir jika didukung oleh kebijakan, strategi dan program kegiatan pembinaan lapangan usaha yang senantiasa memperhatikan aspek penciptaan kesempatan kerja sebagai salah satu tujuan yang pokok. Pembangunan pusat-pusat perdagangan, baik yang modern, maupun semi modern atau yang tradisionil, dituntut untuk selalu memperhatikan kontribusinya terhadap penciptaan kesempatan kerja.

7. Dalam kurun 2005-2009 pertumbuhan nilai tambah lapangan usaha pengangkutan dan komunikasi diperkirakan sebesar 6,2 persen per tahun dan diharapkan dapat menciptakan kesempatan kerja sekitar 2,1 juta orang, sehingga pada tahun 2009 diperkirakan akan terdapat sekitar 7,5 juta tenaga kerja di lapangan usaha itu. Ini akan dapat terealisir jika ditunjang oleh kebijaksanaan yang memadai. Kebijaksanaan tersebut menuntut peninjauan kembali sejumlah perundangan berkaitan dengan sejumlah isu, termasuk : a). monopoli segmen usaha pengangkutan, b). peningkatan peranan tenaga ahli Indonesia di bidang perhubungan dalam rangka alih teknologi dan kemampuan nasional, c). perbaikan iklim kompetisi dalam penyediaan sarana transportasi, termasuk jaminan kepastian hukum dan kepastian usaha serta, d). Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM bidang transportasi, termasuk manajemen dan operasional untuk meningkatkan kompetensi personil dalam pelayanan transportasi dan agar mampu bersaing di pasar global.

8. Share lapangan usaha keuangan dan perbankan terhadap pembentukan PDB maupun penciptaan kesempatan kerja secara langsung relatif kecil. Walaupun demikian, posisinya sangat strategis bagi pengembangan lapangan usaha lain dalam sektor rill (sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap penciptaan kesempatan kerja). Pengalaman masa krisis memperlihatkan bahwa masalah keuangan dan moneter dapat menyebabkan perubahan struktural dalam bidang ketenagakerjaan. Yang penting dari lapangan usaha ini bukan share kuantitatifnya, melainkan dalam efektivitasnya memfasilitasi kegiatan lapangan usaha lain untuk mengembangkan kebijakan dan program yang "ramah" ketenagakerjaan. Kebijakan bidang keuangan dan perbankan dalam memfasilitasi pemberian kredit UKM, misalnya akan sangat mendukung kebijakan lapangan usaha industri yang "ramah" ketenagakerjaan. Sama halnya kebijakan dalam hal kemudahan untuk memperoleh kredit usaha pertanian dan nelayan berskala kecil atau menengah, sebagai misal, jelas akan sangat membantu kebijakan sektor pertanian yang "ramah" ketenagakerjaan. Selain perannya sebagai fasilitator kegiatan lapangan usaha lain, lapangan usaha ini juga dapat memberikan sumbangan secara langsung bagi penciptaan kesempatan kerja, caranya adalah dengan mendorong pertumbuhan lapangan usaha jasa keuangan, baik lembaga keuangan perbankan maupun bukan perbankan.

9. Ruang lingkup lapangan usaha jasa-jasa sangat luas karena mencakup jasa pemerintahan umum dan usaha jasa swasta yang sangat beragam. Sumbangan lapangan usaha jasa-jasa dalam penciptaan kesempatan kerja relatif besar. Pada tahun 2000, misalnya lapangan usaha ini berhasil menciptakan kesempatan kerja bagi sekitar 9,6 juta orang dan meningkat sekitar 14,6 persen pada tahun berikutnya. Dalam kurun 2005-2009, peranan lapangan usaha ini dalam penciptaan kesempatan kerja diperkirakan akan terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan nilai tambahnya yang diperkirakan akan mencapai 9,4 persen per tahun. Pada tahun 2009, diperkirakan akan terdapat sebanyak 13,8 juta orang yang bekerja pada lapangan usaha ini. Kebijakan untuk mengembangkan lapangan usaha ini perlu dirumuskan secara hati-hati karena melibatkan angkatan kerja dalam jumlah yang besar. Kehati-hatian juga diperlukan karena dalam eforia desentralisasi yang masih berlangsung, isunya dapat menjadi sensitif jika berkaitan dengan jasa pemerintahan dan kemasyarakatan. Sejauh berkaitan dengan jasa perorangan dan rumah tangga, arah kebijakan yang relevan seharusn;ya berupa peningkatan dan pemeliharaan iklim usaha yang kondusif bagi perluasan aktivitas usaha dan dapat merangsang pemain baru memasuki bidang usaha ini, serta ditunjang oleh sedikit regulasi yang dapat direalisasikan secara efektif dan konsisten. Hanya arah kebijakan semacam itu yang tampaknya "ramah" tenaga kerja.

Perkiraan Penduduk, Angkatan Kerja, Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk Bekerja dan Penganggur 2003-2009
Total penduduk (ribu jiwa):  2003 (213.734), 2004 (216.3721), 2005 (219.010), 2006 (221.496), 2007 (223.962), 2008 (226.468), 2009 (226.954)
Penduduk Usia Kerja (ribu jiwa):  2003 (151.936), 2004 (154.858), 2005 (157.780), 2006 (160.550), 2007 (163.320), 2008 (166.090), 2009 (168.880)
Angkatan Kerja (ribu jiwa): 2003 (103.416), 2004 (105.678), 2005 (107.940), 2006 (110.064), 2007 (112.228), 2008 (114.372), 2009 (116.516)
Pertumbuhan Ekonomi (%): 2003 (4,02), 2004 (4,43), 2005 (5,01), 2006 (5,29), 2007 (5,91), 2008 (6,50), 2009 (7,14)
Penduduk Bekerja (ribu jiwa): 2003 (92.057), 2004 (94.048), 2005 (96.310), 2006 (99.984), 2007 (101.941), 2008 (105.254), 2009 (108.969)
1. Pertanian: 2003 (40.309), 2004 (40.591), 2005 (40.995), 2006 (41.372), 2007 (41.730), 2008 (42.054), 2009 (42.356)
2. Pertambangan dan Penggalian: 2003 (642), 2004 (654), 2005 (688), 2006 (707), 2007 (729), 2008 (752), 2009 (776)
3. Industri Pengolahan: 2003 (12.148), 2004 (12.451), 2005 (12.880), 2006 (13.346), 2007 (13.852), 2008 (14.403), 2009 (15.006)
4. Listrik, Gas dan Air Minum: 2003 (192), 2004 (206), 2005 (218), 2006 (234), 2007 (253), 2008 (275), 2009 (301)
5. Konstruksi: 2003 (4.322), 2004 (4.410), 2005 (4.518), 2006 (4.635), 2007 (4.764), 2008 (4.914), 2009 (5.167)
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran: 2003 (17.785), 2004 (18.080), 2005 (18.431), 2006 (19.121), 2007 (19.942), 2008 (20.880), 2009 (21.884)
7. Pengangkutan dan Telekomunikasi: 2003 (4.939), 2004 (5.183), 2005 (5.483), 2006 (5.852), 2007 (6.296), 2008 (6.888), 2009 (7.547)
8. Bank, Lembaga Keuangan lainnya: 2003 (1.069), 2004 (1.171), 2005 (1.295), 2006 (1.442), 2007 (1.623), 2008 (1.849), 2009 (2.131)
9. Jasa-Jasa: 2003 (10.672), 2004 (11.263), 2005 (11.794), 2006 (12.276), 2007 (12.752), 2008 (13.260), 2009 (13.802)
Penganggur (ribu jiwa)
Total: 2003 (11.359), 2004 (11.630), 2005 (11.630), 2006 (11.100), 2007 (10.287), 2008 (9.118), 2009 (7.547)
% Terhadap Angkatan Kerja: 2003 (11,0), 2004 (11,0), 2005 (10,8), 2006 (10,8), 2007 (9,2), 2008 (8,0), 2009 (5,5)





Sumber:www.kompas.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS