MENGEMBANGKAN KOMPETENSI BISNIS KOPERASI
Oleh: AJI DEDI MULAWARMAN
22 Februari 2008
KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat Indonesia dewasa ini.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan privat dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi karena menurut Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya. Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions) di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti publik, sehingga mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.
Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara. Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state” adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.
CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti (core competencies) sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang membedakan (differentiating competencies). Kompetensi- kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak suatu organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang tangguh di era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential advantage. Berikut penjelasannya:
…are all converging on similar and formidable standards for product cost and quality – minimum hurdles for continued competition, but less and less important as sources of differential advantage.
Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada kemampuan untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih mengedepankan:
Management ability to consolidate corporatewide technologies and production skills into competencies that empower individual business to adapt quickly to changing opportunities.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah, diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan “collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams of technology” dan “decisively in services”.
PEMBAHASAN: INTERAKSI REALITAS SINKRONIS-DIAKRONIS
Penelusuran substansi konsep diri koperasi dilakukan secara diakronis, sinkronis dan melakukan sinergi keduanya. Penelusuran diakronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis pikiran ekonomi koperasi dan penerjemahannya di lapangan masa pra kemerdekaan sampai kemerdekaan (mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta menjadi Wapres). Penelusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis beberapa aktivitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia. Sinergi diakronis dan sinkronis dilakukan untuk menemukan titik temu sekaligus substansi konsep koperasi.
Penelusuran Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang (Masngudi 1990; Tambunan 2007). Perkembangan koperasi di Indonesia menurut Masngudi (1990) mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Mulai dari kegiatan simpan-pinjam, penyediaan barang-barang konsumsi, penyediaan barang-barang keperluan produksi.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja (1896), mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Sarekat Islam lebih konkrit lagi mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka took-toko koperasi. Berkembang pula di awal-awal koperasi Syirkatul Inan milik NU tahun 1918 di Jombang. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan keputusan kongres 1929 bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan perkoperasian Indonesia masa itu menyatu dengan kekuatan sosial politik sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda mengatur dan cenderung menghalangi atau menghambat perkembangan koperasi. Bentuknya yaitu tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915,.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah waktu itu menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian. Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun usahanya. Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi III di Jakarta. Keputusan Kongres di samping berkaitan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dekopin dengan ICA.
Pada tahun 1958 diterbitkan UU tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958. UU ini disusun dalam suasana UUDS 1950 dan mulai berlaku tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
Penelusuran Sinkronis Realitas Empiris Masyarakat Koperasi Indonesia
Aplikasi diakronis terekam dalam practice realitas field sinkronis masyarakat koperasi Indonesia. Realitas koperasi saat ini ternyata memunculkan pemahaman koperasi yang bias.
Bahwa koperasi sekarang sudah sedemikian rupa terkooptasi oleh program manja dari pemerintah. Artinya, mereka hanya berharap bahwa dengan ikut koperasi itu ya dapat uang, dapat pinjaman, dapat modal. Hal itu dapat dilihat dari pengembangan koperasi saat ini. Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi Simpan Pinjam maupun BMT, serta koperasi karyawan dengan model swalayan atau retail.
Masyarakat kita sekarang masih diproyeksikan pada tataran itu. Tetapi ketika diupayakan menjadi lebih berorientasi produktif, koperasi malah merasa belum siap. Padahal sumber daya alam Indonesia penuh dengan sumber daya untuk memajukan tradisi produktif. Apalagi bila mau dikembangkan ke arah produktif. Hal tersebut sangat sulit dikembangkan.
Pemerintah dan instansi tetap perlu berperan sebagai supporting movement. Keberadaan perusahaan pun sebenarnya bukan mengkreasi koperasi menjadi subordinat. Perlu adanya kesetaraan. Di samping itu yang menarik adalah membentuk karakter kekeluargaan dan pemberdayaan dari bawah/kontekstual. Diperlukan penggalian lebih jauh konsep kekeluargaan dan pemberdayaan koperasi berbasis ekonomi rakyat.
5.3. Sinergi Diakronis-Sinkronis: Menuju Konsep Pemberdayaan Koperasi
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal sampai masa kemerdekaan terlihat bahwa habitus masyarakat Indonesia dalam mengembangkan (practice) koperasi (field) didasarkan kepentingan pemberdayaan (capital). Memang perkembangan awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif dan kebutuhan modal anggotanya (intermediasi). Hal ini dapat dilihat dari koperasi di Purwokerto sampai dibentuknya koperasi oleh Boedi Oetomo, SI, NU, PNI, dan lainnya. Meskipun koperasi intermediasi seperti ini akhirnya tidak berjalan lama.
Tetapi setelah berjalan sekitar 20 tahun, gerakan koperasi mulai mengarah kepentingan produktif. Misalnya gerakan koperasi fenomenal Muhammadiyah berkenaan produksi batik. Bahkan gerakan koperasi produktif sangat kuat dan bertahan lebih lama dari gerakan intermediasi, karena memiliki kemampuan beradaptasi. Inilah yang disebut oleh Prahalad dan Hamel (1990) sebagai core competencies. Hanya perbedaannya, kompetensi inti versi Prahalad dan Hamel (1990) berorientasi pada kepentingan individual, sedangkan kompetensi inti koperasi Muhammadiyah lebih berorientasi pada karakter koperasi Indonesianis, yaitu kekeluargaan.
Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi. Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri, otonom, berkembang dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh. Bila dirujuk pada konsep bisnis core competencies, maka kondisi koperasi sekarang telah kehilangan sense untuk mengembangkan core competencies, dan hanya dapat mengembangkan core product saja. Itupun yang disebut dengan produk telah jauh tereduksi pada model intermediasi dan retail saja. Sedangkan substansi dari core product yang lebih mengutamakan inovasi teknologi dan orientasi produk teralienasi secara gradual dan menurun.
Menjadi benar ungkapan Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial dipengaruhi oleh habitus. Ketika tesis Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda selama 350 tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia lewat doxa kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus pula oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa. Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat kendali dari trickle down effect pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk subordinasi bagi Usaha Besar.
Pesona statistik menurut Ismangil dan Priono (2006) tentu tak bisa dijadikan patokan tunggal. Fakta memang menyebutkan perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitatif terbilang paling pesat dibandingkan kebanyakan negara manapun di dunia. Jika di negara-negara dengan tradisi berkoperasi yang telah mengakar kuat tak sedikit yang mengarah pada trend amalgamasi, situasi kontras terlihat di negeri ini. Mengacu pada data pertumbuhan kuantitatif koperasi Indonesia empat tahun terakhir, dari semula tercatat 118.644 unit (2002) meroket menjadi lebih dari 123 ribu unit pada 2005 (Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006). Hanya dalam tempo tiga tahun tak kurang 5.000 unit koperasi muncul bak cendawan di musim hujan. Ini juga bisa diartikan bahwa animo masyarakat masih terus meningkat dari masyarakat untuk menghidupkan perekonomian mereka melalui koperasi.
Tetapi kenyataannya, kita, lanjut Islamingi dan Priono (2006) juga harus berlapang dada menerima kenyataan, bahwa dibandingkan BUMN dan swasta, koperasi belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian nasional. Sumbangan yang sangat kecil terhadap produk domestik bruto (PDB) memperlihatkan wajah lain dari perkembangan koperasi di Indonesia. Belum suksesnya Indonesia dalam mengembangkan perekonomian di tingkat pedesaaan yang mengakibatkan tidak berkembangnya ekonomi rakyat, merupakan akibat kurang optimalnya pengembangan wadah koperasi sebagai penopang perekonomian nasional. Koperasi masih diposisikan dalam zona sub sistem-bagian dari sistem-swasta dan BUMN, dengan kedudukan yang tidak sederajad. Karena berada dalam posisi sub sistem, koperasi di Indonesia kurang optimal dalam membangun jaringan koperasi (coop-network) yang memadai, akibatnya banyak keuntungan-keuntungan ekonomis yang terserap swasta dan BUMN.
Indikasi doxa dan symbolic violence juga dapat muncul dari Visi Membangun Koperasi Berkualitas. Maka diingatkan oleh Sularso (2006) bahwa jika 70,000 koperasi berkualitas ingin diwujudkan, perlu dilakukan intervensi agar jumlah koperasi berkualitas terdongkrak mencapai jumlah yang dikehendaki. Intervensi dilakukan dengan memfasilitasi koperasi-koperasi yang mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitasnya. Tetapi jika intervensi tersebut tidak tersambut dengan potensi internal yang tumbuh, maka tidak akan bermanfaat dan akan merusak koperasi. Umumnya intervensi pemerintah mengandung bahaya, menjadikan koperasi tergantung dan kehilangan keswadayaan dan otonominya. Atau melakukan rekayasa pernilaian dengan menurunkan kadar kriterianya sehingga lebih banyak koperasi yang bisa masuk kategori berkualitas. Intervensi pemerintah belum tentu dapat menumbuhkan potensi internal koperasi dan rekayasa kriteria klasifikasi hanya akan menghasilkan klasifikasi koperasi yang kualitasnya dibawah standar. Koperasi- nya sendiri tidak bergerak untuk meningkatkan kualitasnya.
Lebih lanjut Sularso (2006) menjelaskan umumnya pencapaian target pengembangan koperasi dilakukan dengan pendekatan formalistik, kurang memperhatikan substansi koperasi berkualitas. Untuk menghindari formalisme dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi koperasi berkualitas, yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi terhadap fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik, pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Bahkan kecenderungan gerak koperasi sekarang juga kembali ke logika awal pergerakan koperasi di masa koperasi dikenalkan di Indonesia, fungsi intermediasi. Hal ini terlihat dari makin menjamurnya Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam. Perkembangan yang juga membesar juga bentuk Koperasi Serba Usaha, yang bergerak di bidang retail. Kebalikannya, koperasi produktif meskipun secara sporadis banyak memiliki keanggotan, omzet dan aset besar, tetapi kecenderungan terus menurun.
REVIEW JURNAL:
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI BISNIS KOPERASI
Oleh :Aji Dedi Mulawarman
1.Pendahuluan
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi,. Teknologi informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.
Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hampir seluruh sistem perekonomian Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi dan liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas negara-negara.
Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme.
Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa liberalisme. Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?
2. Ringkasan yang kami dapat dari jurnal tersebut adalah:
- Bahwa Koperasi Indonesia pada saat ini telah dirasuki dengan sistem Neoliberalisme, bahkan sistem ini telah merasuk keseluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham Liberal ini lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere. Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan.
- Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara.
- Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
- Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi. Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri, otonom, berkembang dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh.
- Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus pula oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa. Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat kendali dari trickle down effect pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk subordinasi bagi Usaha Besar.
- Untuk menghindari formalisme dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi koperasi berkualitas, yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi terhadap fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik, pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.
3. KESIMPULAN
Jadi Kesimpulan yang dapat kami buat yaitu:
- Dalam pengembangan koperasi ada beberapa substansi yang sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang unik yaitu konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail.
- Menemukan bentuk konkrit kompetensi inti kekeluargaan.
- Kita perlu merancang pemberdayaan koperasi yang lebih mandiri untuk beberapa tahun ke depan.
- Kenyataan program-program bersifat pembiayaan, akses perbankan, aspek teknologi dan segala hal tersebut masih berkaitan dengan materi; pemberdayaan, profesionalisme, pelatihan, kemitraan, pasar bersama dan lain sebagainya masih berkaitan dengan anthropocentric oriented.
- Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.
4. Referensi Jurnal :
•http://ajidedim.wordpress.com/2008/01/20/mengembangkan-konsep-bisnis-koperasi-digali-dari-realitas-masyarakat-indonesia/
Nama kelompok 2EB10 :
DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
FACHRURROZY 22210469
FERIZAH ARINA M 22210742
NIKE APRIANTI 24210978
YULIANA EKA PUTRI 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI BISNIS KOPERASI
Diposting oleh
Disty
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar