SEPUTAR TRANSFOMASI
Kata transformasi tidak terlepas dari kata Reformasi yang populer pada masa sebelumnya. Asal kata Transformasi tidak terlepas dari kata Reformasi yang populer pada masa sebelumnya. Asal kata keduanya berasal dari bahasa Inggris yang secara kesepakatan umum diserap kedalam bahasa Indonesia setelah banyak yang menggunakan kata tersebut untuk suatu maksud tertentu. Reformasi berasal dari dua kata ‘re’ yang berarti kembali dan ‘form’ yang berarti bentuk. ”Reform” berarti membentuk, menyusun, mempersatukan kembali (Kamus Inggris-Indonesia versi John. M. Echol).
Pengertian lain dari Kamus besar Bahasa Indonesia tahun 1988 menjelaskan bahwa reformasi merupakan perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, keagamaan) dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan demikian reformasi dapat diartikan membentuk kembali sesuatu pada tempatnya semula. Reformasi sering dipakai orang atau sekelompok orang untuk meruntuhkan sebuah tirani, kediktatoran, dogma atau kondisi terbelenggu oleh sesuatu yang menguasai dan menyengsarakan orang banyak. Akan tetapi dampak dari bergulirnya reformasi sering tidak sesuai dengan yang diharapkan, hal ini disebabkan tidak adanya batasan bahkan patokan kesepakatan tiap reformis sampai sejauh mana reformasi itu diperlukan, sehingga mudah sekali ditunggangi oleh kepentingan tertentu dari sekelompok orang. Apa yang sesuai atau tidak, apa yang perlu disusun kembali atau apa yang sudah baik sering menjadi persepsi subjektif yang bertentangan antar kelompok. Hasil yang diperoleh membuat dampak akan kebebasan yang tak terarah dan tanpa tujuan atau sering disebut dengan istilah sekarang “reformasi kebablasan”. Dengan semangat menetapkan tujuan yang jelas dan menghindari pemanfaatan oleh sekelompok kepentingan maka muncul kata transformasi.
Istilah transformasi bukanlah fashion yang sedang naik daun mengikuti trend. Kata transformasi berasal dari dua kata dasar, ‘trans dan form.’ Trans berarti melintasi dari satu sisi ke sisi lainnya (across), atau melampaui (beyond); dan kata form berarti bentuk. Transformasi mengandung makna, perubahan bentuk yang lebih dari, atau melampaui perubahan bungkus luar saja.Transformasi sering diartikan adanya perubahan atau perpindahan bentuk yang jelas, pemakaian kata transformasi menjelaskan perubahan yang bertahap dan terarah tetapi tidak radikal. Walaupun demikian pengertian transformasi sendiri secara konkret masih suatu wacana yang membingungkan, banyak pandangan yang berbeda dari pemakaian kata tersebut yang hanya disesuaikan dengan perspektif parsial para penggunanya.
Transformasi struktural merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara. Hampir seluruh negara mengawali pertumbuhan ekonominya dengan suatu transformasi struktural. Namun demikian, pola transformasi struktural mungkin saja tidak sama antar satu negara dengan negara lain.
Transformasi Struktural di Negara Maju
Kuznets(1971) menemukan bahwa proses transformasi struktural negara maju cenderung seragam antara satu negara dengan negara lain, dimana proses tersebut terdiri dari 2 tahap. Pertama, pada awalnya sumber-sumber daya ekonomi sebagian besar dialokasikan pada sektor pertanian, yang kemudian seiring dengan pertumbuhan ekonomi alokasi ekonomi bertransformasi ke sektor industri dan jasa. Kedua, alokasi sumber-sember daya ekonomi kembali bertransformasi dari sektor pertanian dan industri ke sektor jasa. Berarti dengan adanya kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB), hasil dari sektor pertanian akan menurun, hasil dari sektor industri pada awalnya akan naik tetapi kemudian turun, dan hasil dari sektor jasa akan selalu meningkat.
Negara-negara maju ini mengalami proses pertumbuhan yang panjang dalam perekonomiannya terutama terkait dengan pertumbuhan PDBnya. Menurut Duarte dan Restuccia (2008), sebagian besar negara-negara maju mengalami peningkatan PDB yang sangat signifikan karena mereka mengalami pergeseran alokasi sumber daya ekonomi dari yang tadinya mayoritas dialokasikan ke sektor pertanian menjadi teralokasi ke sektor jasa.
Negara-negara maju ini mengalami proses pertumbuhan yang panjang dalam perekonomiannya terutama terkait dengan pertumbuhan PDBnya. Menurut Duarte dan Restuccia (2008), sebagian besar negara-negara maju mengalami peningkatan PDB yang sangat signifikan karena mereka mengalami pergeseran alokasi sumber daya ekonomi dari yang tadinya mayoritas dialokasikan ke sektor pertanian menjadi teralokasi ke sektor jasa.
Transformasi Struktural di Negara Berkembang
Bahwa negara berkembang memiliki pola transformasi struktural yang berbeda dengan negara maju walaupun memang ada beberapa negara yang mengikuti pola negara maju. Perbedaannya terletak di dua dimensi, yaitu:
1. Slope atau efek transisi, yaitu dimana menunjukkan sifat hubungan antara perubahan dalam bagian
output sektoral dengan perubahan log GDP per kapita;
2. Efek level, yaitu dimana menunjukkan level bagian output sektoral pada GDP per kapita tertentu.
Selain itu, kesimpulan yang dapat diambil berkaitan dengan pola transformasi struktural, terdapat heterogenitas yang besar akan pola transformasi struktural yang ada di negara berkembang. Pada intinya, penelitian dalam paper ini memperlihatkan perbedaan pola transformasi struktural pada negara berkembang, baik dengan negara maju maupun dengan sesama negara berkembang.
Transformasi Struktural di Asia (1965-2000)
Transformasi struktural di Asia memiliki kemiripan dengan negara maju, yaitu terjadi dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Nemun demikian, keunikan transformasi struktural di Asia terletak pada tahap transformasi pertama yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri.
Latar belakang dari fenomena ini coba kami analisa dengan melihat berbagai faktor yang ada. Salah satu hal yang kami nilai menjadi faktor tingginya tingkat transformasi struktural ke sektor industri adalah terjadinya manufacturing export boom di Asia sekitar tahun 1980an hingga sekarang. Dalam hal ini, Asia menjadi pilihan utama negara-negara di dunia untuk memperoleh barang-barang hasil industri. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan bahan baku serta harga faktor produksi yang murah. Hal ini kemudian mengarah kepada suatu liberalisasi perdagangan. Perdagangan ekspor di Asia ini kemudian berkembang menjadi yang paling terdiversifikasi di antara negara berkembang lain di dunia dikarenakan faktor perkembangan teknologi. Selain itu, faktor lainnya adalah kebijakan pemeritah beberapa negara yang meningkatkan privatisasi. Hal ini kemudian meningkatkan foreign direct investment khususnya pada sektor manufaktur yang berorientasi ekspor. Di samping itu, liberalisasi finansial juga berperan pada transformasi struktural di Asia. Dalam hal ini bank-bank mulai berperan aktif dalam memberikan pinjaman untuk investasi.
Latar belakang dari fenomena ini coba kami analisa dengan melihat berbagai faktor yang ada. Salah satu hal yang kami nilai menjadi faktor tingginya tingkat transformasi struktural ke sektor industri adalah terjadinya manufacturing export boom di Asia sekitar tahun 1980an hingga sekarang. Dalam hal ini, Asia menjadi pilihan utama negara-negara di dunia untuk memperoleh barang-barang hasil industri. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan bahan baku serta harga faktor produksi yang murah. Hal ini kemudian mengarah kepada suatu liberalisasi perdagangan. Perdagangan ekspor di Asia ini kemudian berkembang menjadi yang paling terdiversifikasi di antara negara berkembang lain di dunia dikarenakan faktor perkembangan teknologi. Selain itu, faktor lainnya adalah kebijakan pemeritah beberapa negara yang meningkatkan privatisasi. Hal ini kemudian meningkatkan foreign direct investment khususnya pada sektor manufaktur yang berorientasi ekspor. Di samping itu, liberalisasi finansial juga berperan pada transformasi struktural di Asia. Dalam hal ini bank-bank mulai berperan aktif dalam memberikan pinjaman untuk investasi.
Transformasi Struktural di Afrika (1965-2000)
Transformasi struktural di Afrika dapat dikatakan ’anomali’ bila dibandingkan dengan penelitian Kuznets pada negara maju. Gambaran antara GDP per kapita dengan jumlah output seperti misleading, karena beberapa waktu GDP per kapita nya mengalami penurunan sementara output sektor jasa tetap tinggi. Kemudian secara keseluruhan terlihat bahwa jumlah output sektor bernilai konstan antara 1965 – 2000.
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan tidak proporsionalnya masing-masing proses transformasi struktural yang terjadi. Jumlah output masing-masing sektor yang konstan menunjukkan proses akumulasi dan alokasi yang tidak berjalan secara kontinyu. Masing-masing sektor berjalan sendiri-sendiri tanpa dipengaruhi langsung oleh peningkatan GDP per kapita. Pergerakan output yang konstan ini tidak menggambarkan adanya pergerakan pengalihan dari sektor pertanian ke sektor industri kemudian ke sektor jasa. Hal ini dapat terjadi karena karakteristik negara Afrika yang tingkat permintaannya cenderung stabil. Tidak terdapat permintaan yang fluktuatif yang dapat menyebabkan perubahan pada struktur penawaran produksi yang akan berakibat pada pergeseran pada lapangan pekerjaan maupun output produksi.
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan tidak proporsionalnya masing-masing proses transformasi struktural yang terjadi. Jumlah output masing-masing sektor yang konstan menunjukkan proses akumulasi dan alokasi yang tidak berjalan secara kontinyu. Masing-masing sektor berjalan sendiri-sendiri tanpa dipengaruhi langsung oleh peningkatan GDP per kapita. Pergerakan output yang konstan ini tidak menggambarkan adanya pergerakan pengalihan dari sektor pertanian ke sektor industri kemudian ke sektor jasa. Hal ini dapat terjadi karena karakteristik negara Afrika yang tingkat permintaannya cenderung stabil. Tidak terdapat permintaan yang fluktuatif yang dapat menyebabkan perubahan pada struktur penawaran produksi yang akan berakibat pada pergeseran pada lapangan pekerjaan maupun output produksi.
Transformasi Struktural di Amerika Latin (1965-2000)
Pada Amerika Latin, polanya berada di “tengah-tengah”, dalam artian hubungan peningkatan dan penurunannya cukup menyerupai pola negara maju, namun jumlahnya cenderung tidak sesuai. Penurunan jumlah output sektor pertanian diikuti oleh peningkatan jumlah output sektor jasa telah bernilai tinggi walaupun di awal-awal proses transformasi berjalan serta jumlah output sektor industri yang cenderung masih di batas bawah kurva negara maju di sebagian besar negara.
Beberapa hal mempengaruhi pola transformasi struktural di Amerika Selatan. Salah satunya krisis hutang yang terjadi di sebagian negara Amerika Latin pada tahun 1982. Hal ini menyebabkan pergeseran subsitusi impor ke promosi ekspor. Selain itu, kebijakan stabilisasi serta penyesuaian struktural yang dilakukan pemerintah di sebagian negara pun turut mempengaruhi transformasi struktural yang terjadi di Amerika Latin.
Beberapa hal mempengaruhi pola transformasi struktural di Amerika Selatan. Salah satunya krisis hutang yang terjadi di sebagian negara Amerika Latin pada tahun 1982. Hal ini menyebabkan pergeseran subsitusi impor ke promosi ekspor. Selain itu, kebijakan stabilisasi serta penyesuaian struktural yang dilakukan pemerintah di sebagian negara pun turut mempengaruhi transformasi struktural yang terjadi di Amerika Latin.
Transformasi Struktural dan Stagnasi Ekonomi
Dengan terjadinya transformasi struktural, akan merubah struktur ekonomi berupa sumber daya dan output yang digunakan untuk membangun. Menurut Syrquin (1994) terdapat hubungan yang kuat antara struktur ekonomi dengan tingkat pembangunan tertentu dan pertumbuhan dan perubahan strukturnya. Hal ini terjadi sejak periode stagnasi ekonomi dan penurunan ekonomi. Misalnya saja di Amerika Latin terjadi struktural transformasi dari pertanian ke industri, di Brazil shares output jasa meningkat ketika per kapita GDP stagnan $ 5000, di negara Afrika GDP perkapita tahun 2000 sama atau lebih rendah dari tahun 1965 walaupun pengalaman struktur transformasinya telah terjadi pada tahun 1965-2000. Berdasarkan Kuznet ini merupakan puzzle karena kita awalnya mengekspektasi bahwa share output sektoral tidak akan berubah jika GDP perkapita tidak berubah.
Hal tersebut mendeskripsikan substansi dari struktur transformasi dengan penurunan besar GDP per kapita, kebalikan dari apa yang kita ekpsktasikan. Ketika negara sedang tumbuh (berkembang) dalam output sektoral maka akan mengikuti arah yang benar. Tetapi ketika negara mengalami stagnan atau penurunan ekonomi maka menjadi arah yang salah.
Hal tersebut mendeskripsikan substansi dari struktur transformasi dengan penurunan besar GDP per kapita, kebalikan dari apa yang kita ekpsktasikan. Ketika negara sedang tumbuh (berkembang) dalam output sektoral maka akan mengikuti arah yang benar. Tetapi ketika negara mengalami stagnan atau penurunan ekonomi maka menjadi arah yang salah.
Efek Perubahan Harga
Analisis sebelumnya, share dari output sektoral diperoleh dengan membagi nilai tambah sektoral harga berlaku dibagi GDP harga berlaku. Oleh karena itu perubahan share output sektoral dapat menyebabkan perubahan pada output dan harga relatif. Agar harga relatif tidak berubah, maka kita harus merekonstruksi nilai tambah dari share output sektoral berdasarkan harga konstan dan nilai tambah sektoral. Untuk negara berkembang hanya sedikit sekali yang memiliki data tentang indikator dalam US$ dengan tahun dasar 2000. Kebanyakan negara berkembang memiliki data dari 1970, sedangkan untuk negara maju data yang dijadikan sampel pada penelitian ini dimulai dari tahun 1971.
Dengan menggunakan regresi panel, ternyata transformasi struktural negara berkembang antara tahun 1970-2000 tidak sama dengan proses transformasi negara maju. Hal ini bisa dilihat pada contoh kasus 5 negara yang hasil regresinya menunjukkan hasil regresi dari nilai tambah dan GDP dengan harga konstan berbeda jika dibandingkan dengan hasil regresi harga berlaku. Hasilnya menunjukkan dengan harga konstan ternyata nilai R square untuk ketiga sektor (pertanian, industri dan jasa) lebih kecil, sehingga terlihat terdapat perbedaan proses transformasi struktural.
Dari pola perbedaan dari lima negara berkembang, ada satu hal yang unik. Polanya menyerupai pola proses trasnsformasi yang memiliki sektor jasa yang besar (Senegal, Brazil, Palistan, Korea, dan Ghana), negara dengan share output jasa yang tinggi dalam harga berlaku memiliki nilai tambah share jasa yang tinggi pula pada harga konstan. Untuk kasus negara maju proses transformasi strukturalnya sama dengan Kuznets, apalagi negara maju telah berada dalam tahap kedua proses transformasi struktural.
Seperti disebutkan sebelumnya, tidak terdapat satupun perbedaan yang besar antara series yang diperoleh dengan menggunakan harga tetap dan mengunakan harga berlaku. Oleh karena itu semua penemuan yang sebelumnya secara lebih lanjut untuk dijadikan ”pegangan”.
Dengan menggunakan regresi panel, ternyata transformasi struktural negara berkembang antara tahun 1970-2000 tidak sama dengan proses transformasi negara maju. Hal ini bisa dilihat pada contoh kasus 5 negara yang hasil regresinya menunjukkan hasil regresi dari nilai tambah dan GDP dengan harga konstan berbeda jika dibandingkan dengan hasil regresi harga berlaku. Hasilnya menunjukkan dengan harga konstan ternyata nilai R square untuk ketiga sektor (pertanian, industri dan jasa) lebih kecil, sehingga terlihat terdapat perbedaan proses transformasi struktural.
Dari pola perbedaan dari lima negara berkembang, ada satu hal yang unik. Polanya menyerupai pola proses trasnsformasi yang memiliki sektor jasa yang besar (Senegal, Brazil, Palistan, Korea, dan Ghana), negara dengan share output jasa yang tinggi dalam harga berlaku memiliki nilai tambah share jasa yang tinggi pula pada harga konstan. Untuk kasus negara maju proses transformasi strukturalnya sama dengan Kuznets, apalagi negara maju telah berada dalam tahap kedua proses transformasi struktural.
Seperti disebutkan sebelumnya, tidak terdapat satupun perbedaan yang besar antara series yang diperoleh dengan menggunakan harga tetap dan mengunakan harga berlaku. Oleh karena itu semua penemuan yang sebelumnya secara lebih lanjut untuk dijadikan ”pegangan”.
Transformasi Pertanian
Di dalam buku yang membahas masalah perubahan struktural di dalam perekonomian suatu negara atau daerah, selalu dikemukakan penurunan share sektor pertanian dan peningkatan share sektor industri.
Padahal, revolusi industri dan revolusi pertanian selayaknya harus jalan bersama, itulah sebabnya mengapa ekonomi yang pertaniannya stagnan tidak menunjukkan pengembangan pada industrinya.
Model perekonomian yang terjadi di Inggris sudah menunjukkan hal tersebut. Revolusi industri abad 18 tidak mungkin terjadi bila tidak dibarengi oleh pengembangan di sektor pertaniannya. Pada saat itu, pertanian di Inggris sudah berkembang dengan ditemukannya proses bertanam yang lebih efisien dan memproduksi output yang lebih banyak.
Kini, di negara-negara sedang berkembang, sektor pertanian cenderung diabaikan oleh pemerintahnya. Padahal salah satu karakteristik dari negara sedang berkembang adalah share sektor pertanian terhadap pembentukan PDBnya yang besar dan jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor ini juga besar. Itu pula yang terjadi di Indonesia . Walaupun negeri ini berusaha menjalani tahapan lepas landas-nya teori Rostow, dengan meningkatkan share sektor industri, tetapi jumlah tenaga kerja yang banyak terserap tetap berada di sektor pertanian.
Kondisi ini mengingatkan kembali pada apa yang pernah terjadi di Inggris. Sektor pertanian tidak bisa begitu saja diabaikan, melainkan pembangunannya harus lebih diperhatikan agar bisa menjadi sektor yang menopang kemajuan sektor lainnya, khususnya sektor industri.
Dari paper Timmer (1988) dalam buku Handbook of Economic Development, disajikan bagaimana sektor pertanian mengalami transformasi, step by step.
-Fase pertama terjadi ketika produktivitas pertanian per tenaga kerja meningkat. Kenaikan produktivitas ini
akan menciptakan surplus.
-Fase kedua terjadi secara langsung melalui sistem perpajakan dan aliran faktor, atau secara tidak langsung
melalui intervensi pemerintah dalam term of trade di daerah pedesaan (dimana tempat sektor pertanian
berada). Hal ini juga menciptakan surplus.
-Fase ketiga merupakan merupakan fokus dari apa yang disebut model dual economy. Karena, dari surplus
yang tercipta di fase pertama dan kedua, bisa diutilisasi untuk membangun sektor non agriculture.
Sumber daya yang keluar dari sektor pertanian, faktor pedesaan dan pasar produk kemudian menjadi
terintegrasi dengan seluruh perekonomian. Fase ini ditandai dengan terjadi akibat integrasi sektor ekonomi
dengan makro ekonomi yang progresif, melalui perbaikan infrastruktur dan keterkaitan ekuilibrium pasar.
-Fase keempat diketahui dengan peran pertanian dalam ekonomi industrialisasi selanjutnya.
Dalam melalui 4 fase tersebut, diperlukan lingkungan (environment) ekonomi yang dibarengi dengan
kebijakan-kebijakan yang diambil untuk sektor pertanian. Timmer sendiri sudah memetakan lingkungan
ekonomi tersebut menurut orang-orang yang menulis mengenai lingkungan ekonomi dan kebijakannya.
Perubahan lingkungan untuk kontribusi sektor pertanian untuk mencapai pertumbuhan ekonomi ini diawali oleh Mosher, yang kemudian dilanjutkan oleh Johnston-Mellor, Shultz-Ruttan, dan D.G. Johnston.
Pada Mosher environment, sumberdaya tenaga kerja dan finansial yang mengalir keluar sepanjang waktu (atau sepanjang kenaikan income dalam cross-section sample) merupakan impresionistik. Mosher menyebut kebijakan yang diambil untuk fase ini "Getting Agriculture Moving" yang ditandai dengan perubahan institusional, teknologi baru, stuktur pasar dan insentif, investasi yang signifikan pada infrastruktur pedesaan.
Johnston-Mellor environment memiliki awal pola yang hampir sama dengan Mosher environment yang ditandai dengan sumberdaya tenaga kerja dan finansial yang mengalir keluar sampai ada sumber finansial alternatif lainnya. Penurunan sektor pertanian ini diisi oleh pendapatan dari sektor lain seperti migas. Namun, sejalan dengan meningkatnya produktivitas pertanian, tenaga kerja dan finansial mengalir ke sisa perekonomian juga meningkat. Kebijakan yang diambil pada fase dan lingkungan ini kerap disebut "Agriculture as a contributor to Growth" yang ditandai dengan pembangunan keterkaitan pasar dengan industri; teknologi dan insentif untuk menciptakan sektor pertaniaan yang sehat; perbaikan pasar faktro untuk memobilisasi sumberdaya pedesaan.
Schultz-Ruttan environment dimulai dengan populasi absolut pertanian yang mulai menurun, walaupun income per kapitanya naik (akibat penggunaan teknologi yang lebih baik). Kebijakan yang diterapkan disini disebut sebagai "Integrating Agriculture Into the Macro Economy" yang ditandai dengan penurunan share belanja makanan oleh masyarakat perkotaan; menekan efisiensi pertanian; pergeseran sumberdaya keluar, tapi ada masalah dengan distribusi income dari jarak yang dibuat oleh produktivitas tenaga kerja pedesaan.
D.G. Johnson environment dimulai dengan penurunan tenaga kerja sektor pertanian menjadi proporsi yang kecil dari keseluruhan angkatan kerja. Apakah sumber daya finansial tetap mengalir keluar pada fase ini dalam prosesnya tergantung hampir seluruhnya pada kebijakan harga pemerintah dan hasilnya akan berdampak pada investasi pertanian. Kebijakan pada lingkungan ekonomi seperti ini disebut " Agriculture in Industrial Economy" yang diperlihatkan dengan share komoditas makanan oleh konsumen yang menjadi kecil; distirbusi income dan isu politik; pengangguran di sektor industri yang menciptakan tekanan agar tenaga kerja tetap berada di sektor pertanian; isu lingkungan dan cara hidup (way of life).
Kesimpulannya adalah bahwa kondisi makro ekonomi memainkan peranan yang penting dalam proses transformasi pertanian agar diperoleh hasil yang berkesinambungan.
Referensi: www.google.com
0 komentar:
Posting Komentar